4 Fungsi silia pada trakea adalah 5. Sel-sel saraf dinamakan 6. Ekskresi adalah 7. Gangguan yang terjadi pada sistem reproduksi pria yang disebabkan oleh virus herpes adalah 8. Di bawah ini yang tidak termasuk sistem saraf sadar adalah 9. Kantung udara pada waktu burung terbang berfungsi untuk 10.
– Sistem saraf terdiri dari saraf di seluruh tubuh serta sumsum tulang belakang dan otak. Sistem ini berisi miliaran sel yang berkomunikasi dan bekerja sama untuk menjaga kesehatan tubuh. Pusat saraf dalam otak bertanggung jawab dalam mengendalikan pergerakan otot, fungsi kognitif, pembelajaran dan memori, pengembangan kepribadian dan sejumlah proses lainnya. Nutrisi dari asupan makanan sehari-hari memainkan peran dalam fungsi sistem saraf yang mana berkontribusi untuk beberapa proses yang diperlukan untuk pengembangan dan fungsi sel sistem saraf. Nutrisi dari makanan berdampak pada perkembangan sel otak sehingga memberikan kontribusi untuk fungsi otak yang tepat. Proses pembentukan sel-sel saraf di otak yang disebut neurogenesis, terjadi dalam rahim untuk berkontribusi pada sistem saraf yang matang, serta di masa dewasa untuk memfasilitasi pembentukan memori dan pembelajaran. Regulasi neurogenesis terbukti penting karena proliferasi abnormal pada sel-sel batang otak dapat menyebabkan gangguan neurologis seperti kanker otak. Fungsi sistem saraf juga bergantung pada myelin. Terdiri dari berbagai protein dan lemak, myelin mengelilingi dan menyekat serat saraf, membantu meningkatkan kecepatan pengiriman sinyal dari saraf. Hilangnya myelin dapat mengganggu pengiriman sinyal sel saraf yang tepat, yang mengarah ke gangguan neurologis. Sejumlah nutrisi seperti tembaga dan vitamin B-12 berkontribusi terhadap fungsi selubung myelin dan mendapat asupan kedua nutrisi tersebut penting untuk fungsi sistem saraf yang tepat. Nutrisi dari makanan sehari-hari juga berkontribusi komunikasi antara sel-sel otak yang merupakan proses penting untuk fungsi sistem saraf. Bahan kimia pemberi sinyal yang disebut neurotransmitter, juga bergantung pada kehadiran sejumlah nutrisi. Di antaranya adalah triptofan serta vitamin B-6, B-12, B-1, B-3, B-5 dan vitamin C. Kekurangan salah satu nutrisi ini dapat menghambat kemampuan tubuh untuk mensintesis neurotransmiter, dan pada gilirannya mengganggu komunikasi dalam sistem saraf. Beberapa nutrisi juga membuat sinyal elektrokimia yang mengirimkan impuls saraf. Setelah terjadi pelepasan sel neurotransmitter untuk memulai sinyal otak, sel-sel di dekatnya merespon dengan menghasilkan sinyal listrik yang disebut tindakan action, yang terlihat dalam berbagai tanggapan seperti ingatan memori, emosi atau gerakan. Mineral natrium dan kalium berkontribusi potensial aksi. Kekurangan natrium atau kalium yang parah dapat memengaruhi fungsi otak dan mendapatkan asupan dalam jumlah yang cukup dari mineral tersebut penting untuk kesehatan sistem saraf. Sumber gambar
Neuronneuron saling berbicara satu dengan yang lainnya (Komunikasi Sistem Saraf), dan ketika sel saraf dirangsang pada sisi dalam dan sisi luar sel terjadi perubahan tenaga listrik. Secara fisika, proses ini melibatkan mengalir masuknya ion-ion sodium bermuatan positif ke dalam membran sel, yang terjadi secara mendadak dan berlangsung sesaat.
Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1764 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Volume 5 Issue 2 2021 Pages 1764-1776 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini ISSN 2549-8959 Online 2356-1327 Print Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang Meri Anggryni1, Wiwi Mardiah2, Yanti Hermayanti3, Windy Rakhmawati4, Gusgus Graha Ramdhanie5, Henny Suzana Mediani6 Keperawatan Anak, Universitas Padjadjaran DOI Abstrak Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut terindikasi dari tingginya prevalensi stunting serta dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan review ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age yang menyebabkan kejadian stunting pada balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pencarian secara sistematik dari literature 2015-2020 menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Kata kunci pencarian pemberian nutrisi, masa golden age, balita, stunting, negara berkembang. Peneliti memperoleh 28 artikel final yang dianalisis sesuai kriteria. Hasil menggambarkan faktor penyebab kejadian stunting terjadi sejak kehamilan akibat kekurangan nutrisi pada masa tersebut, inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam kelahiran maupun tidak sama sekali, pemberian ASI terhenti 12 bulan, dan makanan yang diberikan tidak bervariasi dengan frekuensi dan tekstur yang tidak sesuai usia. Kata Kunci balita; indonesia; masa golden age; negara berkembang; pemberian nutrisi; stunting Abstrak Stunting is a major health problem that can hinder the future of the nation. This is indicated by prevalence of stunting and its adverse effects. The purpose of this review is to identify the nutritional factors during the golden age that cause stunting in children under five in developing countries, including Indonesia. Systematic search of the 2015-2020 literature using Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, Plos One. Keyword search nutrition, golden age, toddler, stunting, developing countries. The researcher obtained 28 final articles which were analyzed according to the criteria. The results describe the factors that cause stunting occurring since pregnancy due to nutritional deficiencies at that time, early initiation of breastfeeding less than 1 hour of birth or not , stopping breastfeeding 12 months, and the food given did not vary with frequency and texture that was not age-appropriate Keywords developing countries; golden age; nutrition practice; stunting; toddlers. Copyright c 2021 Meri Anggryni, Wiwi Mardiah, Yanti Hermayanti,Windy Rakhmawati, Gusgus Graha Ramdhanie, Henny Suzana Mediani  Corresponding author Email Address Bandung, Indonesia Received 14 December 2020, Accepted 31 December 2020, Published 9 Januari 2021 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1765 PENDAHULUAN Stunting merupakan masalah kesehatan utama yang dapat menghambat masa depan bangsa. Hal tersebut diindikasikan berdasarkan standar WHO, yakni 20% atau seperlima dari jumlah total balita. Berdasarkan prevalensi secara global, terdapat sebanyak 22,9% atau 154,8 juta anak balita dengan kasus tersebut dan menjadi 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di tahun 2017. Kondisi tersebut terpusat di negara miskin 35,2% dan negara berkembang 22,4%, yang tersebar di Asia dengan prevalensi 56% dan Afrika 39%. Kondisi demikian kebanyakan ditemukan di negara berkembang dari kedua benua, dimana dari 88 negara dengan kasus tertinggi, empat diataranya merupakan negara berkembang, yakni India 48%, Pakistan 42%, Nigeria 41% dan Indonesia 37% tahun 2007 [36,8%], tahun 2010[ 35,6%], tahun 2013 [37,2 %] dan tahun 2018 [30,8%] United Nations Children’s Fund [UNICEF], World Health Organitation [WHO], World Bank Group [WBG], 2018; Riset kesehatan dasar [Riskesdas], 2013-2018. Kondisi ini tidak dapat diabaikan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kesadaran pentingnya penanganan masalah ini, masyarakat dan pemerintah perlu mengetahui dampak yang ditimbulkan kondisi tersebut. Selain prevalensi tersebut, dampak akibat stunting juga dapat menghambat masa depan bangsa. Pada dampak jangka pendek, anak dapat mengalami gangguan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang, dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua, meningkatkan risiko penyakit dan kematian perinatal-neonatal, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif dan akan menghasilkan rendahnya kualitas sumber daya manusia SDM yang berakibat pada rendahnya produktifitas ekonomi. Apriluana & Fikawati, 2018; Anugraheni & Kartasurya, 2012; Hossain et al., 2017; Kemenkes, 2018; Dewey & Begum, 2011; De Onis et al., 2012; Mediani, 2020; Kemenkes RI, 2016; Izwardy, 2019, Helmyati, 2019; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bapennas], 2018. Sehingga, diperlukan upaya penanganan yang serius dari berbagai pihak, untuk dapat mencegah dan mengurangi dampak yang dialami balita dengan kondisi tersebut. Sampai saat ini, pemerintah masih berupaya dalam penurunan stunting. Dimulai dari penetapan tujuan pembangunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB yang dikenal dengan The Sustainable Development Goals SDG’s yang salah satu tujuannya berupa penurunan stunting dan wasting pada balita di seluruh dunia, serta merupakan target internasional tahun 2030 United Nation Development Programme [UNDP], 2018 Sebagai bentuk realisasi, WHO 2014 dan UNICEF 2013 membuat kerangka kerja yang mengelompokkan faktor-faktor risiko kedalam tiga kelompok yakni; 1 faktor distal meliputi, politik dan ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial budaya, sistem pertanian dan makanan, serta air, sanitasi dan lingkungan; 2 intermediate factors yaitu, faktor rumah tangga yang meliputi, jumlah dan kualitas makanan yang tidak adekuat, sumber daya yang rendah, ukuran dan struktur keluarga, praktik yang tidak memadai, perawatan kesehatan yang tidak memadai, layanan air dan sanitasi yang tidak memadai, 3 faktor proksimal meliputi pemberian nutrisi, faktor ibu dan lingkungan, faktor anak, dan faktor infeksi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dapat dilakukan melalui faktor-faktor risiko langsung penyebab stunting. Namun untuk itu, dibutuhkan intervensi yang terstruktur untuk merealisasikan upaya tersebut. Sebagai bentuk keseriusan dalam pencegahan dan penanganan stunting, pemerintah membentuk dua intervensi gizi, yakni intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif TNP2K, 2017; Trihono, 2015. Intervensi gizi spesifik ditunjukkan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan. Intervensi ini merujuk pada intervensi yang langsung menangani faktor penentu gizi janin serta gizi anak, mulai dari pemenuhan nutrisi selama kehamilan hingga pemberian makanan tambahan International Food Policy Research Sience Review [IFPRI], 2016. Sedangkan, intervensi gizi sensitif ditunjukkan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sehingga, perawat sebagai ujung tombok Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1766 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 kesehatan dapat membantu percepatan penanganan kondisi tersebut dengan menyukseskan program intervensi gizi spesifik khususnya pemberian nutrisi pada masa 1000 hari pertama kehidupan Masa golden age. Namun untuk itu, perawat perlu mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age secara komprehensif. Berdasarkan literatur, stunting dapat terjadi sejak 1000 hari pertama kehidupan, mulai dari 270 hari janin didalam kandungan sampai 720 hari pertama kelahiran Schmidt, 2014; Ikatan Dokter Anak Indonesia [IDAI], 2015. Pada masa kehamilan, pemberian nutrisi pada janin bergantung sepenuhnya pada kecukupan gizi ibu hamil. Kondisi tersebut dinilai dari status gizi ibu hamil, yang diukur menggunakan lingkar lengan atas LILA. Pengukuran tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah ibu mengalami kekurangan gizi, khususnya kekurangan energi kronis Ferial, 2012. Menurut data Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia tahun 2013-2018, terdapat 24,2% Ibu hamil di tahun 2013 mengalami kekurangan energi kronis dan menjadi 17,3% pada 2018. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat KEK pada ibu hamil dapat mengakibatkan janin didalam kandungan mengalami kekurangan asupan nutrisi diawal kehidupan yang berdampak pada pertumbuhan janin. Pertumbuhan janin didalam kandungan melalui tiga tahapan yang terbagi kedalam tiga trimester. Pada trimester pertama, pertumbuhan janin masih lambat, peningkatan kebutuhan zat gizi masih relatif kecil. Pada tahap ini, ibu hamil memasuki masa anabolisme yaitu masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari makanan yang dikonsumsi setiap hari untuk cadangan trimester berikutnya Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, penting memperhatikan kandungan makanan yang dikonsumsi ibu selama fase ini. Demikian pula pada trimester kedua. Pada tahap ini, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan trimester sebelumnya. Kecepatan pertumbuhan mencapai 10 gram per hari, susunan saraf otak berkembang sampai 90%, lengan, tangan, kaki, jari dan telinga mulai terbentuk, denyut jantung janin mulai terdengar, serta penyimpanan lemak sebagai cadangan pembentuk Air Susu Ibu ASI dimulai Marmi, 2013; Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010; Almatsier, 2011. Pada tahapan ini, terjadi peningkatan kebutuhan energi untuk metabolisme tubuh janin. Sehingga, ibu dianjurkan untuk meningkatkan asupan gizi dibandingkan sebelumnya. Begitupun pada trimester ketiga. Pada masa ini, kebutuhan asupan nutrisi dari simpanan cadangan energi ibu selama tahap sebelumnya semakin meningkat. Karena pada tahap ini, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Untuk itu, status gizi ibu di trimester sebelumnya harus baik, dan didukung dengan memaksimalkan kebutuhan asupan gizi di trimester ini. Setelah melalui ketiga tahapan tersebut, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. Proses pemberian nutrisi tersebut diberikan melalui pemberian Inisiasi Menyusui Dini IMD, yakni pemberian air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah lahir. Dalam proses tersebut, bayi akan melakukan gerakan menghisap yang dapat merangsang hormon oksitoksin mengencangkan otot halus pada sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran susu IDAI, 2015. Untuk itu, pemberian inisiasi menyusui dini harus diberikan dan tidak boleh tertunda. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013-2018, pemberian nutrisi segera setelah lahir pada anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari rata-rata bayi yang memperoleh inisiasi menyusui dini sesuai rekomendasi WHO yakni ≥1 jam setelah lahir, hanya sebanyak 15,9%. Padahal, dengan pemberian IMD bayi dapat memperoleh kolestrum, yakni ASI yang kaya akan daya tahan tubuh, antibodi terhadap infeksi, pertumbuhan usus dan asupan gizi yang penting untuk pertumbuhan anak Permadi et al., 2017. Serta, dapat menstimulus ASI keluar dengan baik, dan membantu keberhasilan pemberian ASI eksklusif Apriluana & Fikawati, 2018 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1767 Memasuki usia 0-6 bulan, pemberian nutrisi sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI eksklusif. Indikasi eksklusif jika bayi hanya diberikan ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus ataupun susu, kecuali obat, vitamin dan mineral Millenium challenge count [MAC] Indonesia, 2013; IDAI, 2015. Berdasarkan literature, pemberian ASI eksklusif dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi selama 6 bulan pertama, sampai mencapai tumbuh kembang yang optimal IDAI, 2015. Sehingga, pemenuhan nutrisi pada masa ini cukup hanya dengan ASI eksklusif. Namun, hal tersebut sepertinya belum dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini terlihat dari data Riskesdas tahun 2013-2018. Dimana, hanya 21,2% bayi pada tahun 2013 yang memperoleh ASI eksklusif, dan pada tahun 2018 menjadi 37,3%. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan merugikan bayi dan keluarga. Untuk itu, diperlukan upaya dalam meningkatkan hal tersebut. Selanjutnya, pemberian nutrisi dengan ASI pada anak usia 6-12 hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi bayi sebanyak 60%, dan 40% nya harus dipenuhi dengan makanan pendamping ASI MP-ASI. Makanan tersebut membantu bayi memperoleh energi yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangannya Mufida, 2015. Pemberian makanan tambahan harus dilakukan dengan sesuai ketentuan yang ada, jika pemberian tidak tepat anak dapat mengalami kekurangan nutrisi. Pentingnya hal tersebut, sepertinya belum diperhatikan oleh masyarakat di negara berkembang. Hal ini terlihat dari hasil Riskesdas tahun 2013, terdapat 79,8% anak di Indonesia diberikan makanan tambahan terlalu dini pada usia 0-5 bulan, dan menjadi 42,3% pada tahun 2018. Hal ini tidak dapat dibiarkan, karena dapat mengakibatkan anak kekurangan asupan gizi pada anak di usia ini, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dimasa depan. Untuk itu, pemberian makanan harus dilakukan tepat waktu dan diberikan dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan anak. Berdasarkan data pemberian nutrisi tersebut, diketahui pentingnya pemberian nutrisi di tiap tumbuh kembang anak selama masa golden age. Serta, rendahnya pemberian nutrisi pada masa golden age di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini dapat menjadi indikasi tingginya prevalensi kejadian stunting pada balita di negara tersebut. Namun untuk dapat memastikan hal tersebut, dibutuhkan penelitian secara komprehensif pada faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian tentang pemberian nutrisi yang telah dilakukan sejauh ini berupa pemberian nutrisi pada masa tertentu atau terpisah, yakni pemberian nutrisi pada ibu hamil saja, pemberian IMD sampai pemberian ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI, atau pemberian IMD sampai pemberian MP-ASI Kismul et al., 2017; Fitri & Ernita, 2019; Mediani, 2020; Nadiyah, Briawan dan Martianto, 2014. Sedangkan untuk penelitian faktor-faktor pemberian nutrisi pada masa golden age dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara sistematik review belum pernah dilakukan. Untuk itu, peneliti merasa penelitian sistematik review penting untuk dilakukan, guna mengetahui faktor-faktor pemberian nutrisi dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang secara komprehensif sehingga diperoleh upaya pencegahan dan penanganan dampak stunting yang aplikatif dan efektif. METODOLOGI Merupakan sebuah penelitian sistematik review, menggunakan The Centre for Review and Dissemination and the Joanna Briggs Institute JBI Guideline sebagai panduan dalam menganalisa kualitas artikel. Penelusuran menggunakan Google Scholar, Proquest, Pubmed, Taylor and Francis, dan Plos One dengan kata kunci“nutrition practice, golden age, child under five year of age, stunting. Kriteria seleksi mengikuti format PEO. Population Ibu dengan anak stunting usia 0-59 bulan. Exposure pemberian nutrisi pada masa golden age. Outcome Stunting. Penelusuran dilakukan pada artikel yang diteliti tahun 2015-2020 di negara berkembang termasuk Indonesia. Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1768 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 Alur penyeleksian menggunakan PRISMA, sebanyak 28 artikel yang memenuhi kriteria kelayakan dianalisis secara desktiptif melalui naratif sintesis dalam mensintesis hasil artikel yang diperoleh. Artikel diperoleh dari berbagai negara yang termasuk kedalam negara berkembang yakni 17 artikel dari Indonesia, 1 artikel dari Kamboja, 2 artikel dari India dan Pakistan, 1 artikel dari Thailand, 1 artikel dari Cina, 1 artikel dari Urganda, dan 1 artikel dari Armenia, serta 4 artikel dari Ethiopia. Artikel tersebut diperoleh dari jurnal Plos One 3 artikel, dan dari database Pubmed 4 artikel, Proquest 3 artikel, dan Taylor and Francis 1 artikel, serta diperoleh juga dari search engine Google Schoolar 17 artikel. Untuk artikel penelitian yang paling banyak melibatkan responden adalah penelitian yang dilakukan Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand dengan 7018 responden anak diatas 12 bulan, dan responden paling sedikit sebanyak 40 responden dalam penelitian Prabandari et al., 2017di Indonesia. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. Bagan 1 Alur Penelitian Melalui Proses Seleksi HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Status Gizi Ibu hamil Status gizi ibu hamil menjadi tolak ukur kecukupan gizi janin selama didalam kandungan. Hal ini dikarenakan, pemenuhan nutrisi janin selama 270 hari didalam kandungan bergantung penuh pada asupan gizi ibu. Oleh karena itu, ibu harus mampu memenuhi kebutuhan nutrisi selama kehamilan demi tercapainya tumbuh kembang janin yang optimal. Hal tersebut, sesuai dengan hasil review dari penelitian Som et al., 2018, menunjukkan praktik pemenuhan makan pada ibu hamil yang tidak memenuhi standar dan tidak meningkatkan asupan makan selama kehamilan menjadi penyebab stunting di kamboja. Records identified through databases, search engines and journal searching n Additional records identified Records after duplicates removed n =1,230 assessed for eligibility n = 36 Full-text articles excluded, Studies include criteria n=28 Records excluded n = 75 Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1769 Hasil tersebut sejalan dengan Situmeang et al., 2020; Alfarisi et al., 2019 dimana terdapat hubungan signifikan antara asupan energi dan asupan protein dengan kejadian stunting di Indonesia OR=0,215; OR=0,354, dan apabila ibu mengalami kekurangan energi kronis selama kehamilan akan melahirkan anak dengan risiko 2,2 kali lebih besar mengalami stunting. Berdasarkan literatur, pemenuhan nutrisi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan berat badan normal adalah mengkonsumsi 1800 kalori pada trimester pertama, 2200 kalori pada trimester kedua, dan 2400 kalori pada trimester ketiga. Serta diperlukan penambahan energi sebanyak 150 kalori dan protein 17 gr di trimester pertama. Pada trimester kedua penambahan energi meningkat menjadi 300 kalori, protein 17 gr pada trimester kedua dan Fe 9 mg. Sedangkan pada trimester ketiga penambahan kebutuhan energi masih sama yakni 300 kalori, protein 17gr, dan peningkatan Fe 13 mg. Serta dianjurkan mengkonsumsi asam folat 600 mcg, Vitamin B12 +0,2 ug, Ca +150 mg, dan serat >25 gr per hari selama kehamilan Damayanti et al., 2017. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi selama kehamilan, ibu dapat mengalami kekurangan asupan gizi yang apabila dibiarkan dapat mengakibatkan janin didalam kandungan lahir dengan manifestasi tubuh stunting. Penelitian terkait pemenuhan nutrisi janin dilakukan oleh Dhaded et al., 2020 Penelitian tersebut dilakukan pada komunitas miskin sumber daya di India dan Pakistan dengan memberikan suplemen zat besi-folat pada wanita usia subur dan ibu hamil pada trimester pertama. Hasil penelitian menunjukkan pemenuhan nutrisi prakonsepsi 3 bulan sebelum konsepsi dan pada trimester pertama dikaitkan dengan penurunan stunting sebanyak 44%. Hasil tersebut cukup rendah mengingat pemberian suplemen telah dilakukan 3 bulan sebelum konsepsi. Hal tersebut bisa saja terjadi karena rendahnya kemampuan ibu memperoleh makanan yang cukup gizi akibat keterbatasan ekonomi dan sumber daya. Sehingga, kebutuhan nutrisi janin hanya diperoleh dari suplemen zat besi-folat yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Akibatnya, hanya 44% ibu yang diberikan suplemen zat besi-folat mulai dari 3 bulan prakonsepsi sampai trimester pertama yang melahirkan anak tanpa stunting, dan 56% lainnya memiliki anak stunting. Pada penelitian yang sama, Dhaded et al., 2020 menemukan bahwa pertumbuhan janin dapat dicapai dengan peningkatan asupan energi, protein, dan nutrisi mikro dari sebelum dimulainya trimester kedua kehamilan tanpa memerlukan intervensi lain p 0,05. Penelitian ini, hanya mengkaji riwayat KEK pada ibu hamil selama trimester 3, sedangkan riwayat di trimester sebelumnya tidak dikaji. Padahal, status gizi ibu hamil setiap trimester saling mempengaruhi. Sebelum memasuki trimester baru, tubuh ibu akan menyimpan cadangan energi untuk digunakan pada trimester selanjutnya. Sehingga, apabila ibu mengalami KEK pada trimester sebelumnya akan mengakibatkan ibu beresiko mengalami KEK di trimester selanjutnya, terlebih apabila kondisi tersebut tidak segera dikaji dan diperbaiki maka akan mengakibatkan ketidak cukupan energi yang penting untuk metabolisme dan pertumbuhan janin didalam kandungan. Dimana pada trimester ketiga, janin tumbuh menjadi dua kali panjang sebelumnya dan berat badan yang bertambah kurang lebih lima kali dari berat semula Damayanti et al, 2017; Kristiyanasari, 2010. Oleh sebab itu, kekurangan energi kronis selama Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1770 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 trimester tiga akan sangat berpengaruh dengan status gizi bayi terutama PB/U dan dapat mengakibatkan anak mengalami stunting. Faktor Pemberian IMD Setelah melalui 270 hari didalam kandungan, janin akan keluar dari rahim ibu melalui proses persalinan. Sesaat setelah proses tersebut, bayi harus segera diberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tubuh bayi yang diberikan melalui IMD. Pemberian yang dilakukan sedini mungkin, membantu bayi mendapatkan kolostrum yakni baik untuk daya tahan tubuh dan asupan gizi, sehingga anak terhindar dari kejadian stunting. Menurut Angelina, Perdana dan Humairoh 2018 menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini pada balita usia 6-23 bulan berhubungan dengan kejadian stunting p = 0,010 dan OR 3,308 yang artinya anak tidak diberikan inisiasi menyusui dini akan berisiko 3,308 kali mengalami stunting dibandingkan anak yang diberi inisiasi menyusui dini. Begitu pula, Sentana, dan Hasan 2018 penelitian dengan OR sebesar 8,157 Demikian pula, Batiro et al., 2017 di Ethiopia Selatan yang menunjukkan pemberian inisiasi menyusui dini yang terlambat atau setelah satu jam kelahiran merupakan faktor determinan stunting dengan OR=5,16. Penelitian berbeda, Ahmad et al., 2018 di kota Aceh Indonesia yang menunjukkan inisiasi menyusui dini tidak berkaitan dengan kejadian stunting 0,530. Meskipun demikian, pada penelitian Ahmad et al., 2018 proporsi anak yang diberikan IMD namun tetap mengalami stunting sebanyak 47 26,2% dan anak yang tidak diberikan IMD dan mengalami stunting sebanyak 62 29,1%. Hal ini menunjukkan, meskipun hasil analisa data menyatakan tidak ada hubungan IMD dengan kejadian stunting, namun sebagian besar responden yang tidak memperoleh IMD mengalami stunting. Dengan demikian, pemberian IMD diidentifikasi sebagai faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan negara berkembang. Pemberian ASI Eksklusif ASI merupakan makanan ideal yang mengandung asupan protein, membantu mempertahankan pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan bayi, serta memberikan perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal yang dapat menyebabkan malnutrisi kronis Koletzko, 2015. Pemberian ASI sebaiknya dimulai dari sejak lahir sampai usia 6 bulan. Hal ini didukung oleh penelitian Islam et al., 2018 India yang menunjukkan pemberian ASI eksklusif perlu ditingkatkan pada anak-anak, karena anak dapat mengalami peningkatan stunting sebanyak 24% pada usia 24 bulan yang dimulai sejak dilahirkan. Hasil review juga mengidentifikasi 5 penelitian yang menunjukkan pemberian ASI Eksklusif berhubungan dengan stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Julianti 2020 di Indonesia menunjukkan terdapat hubungan signifikan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting p= OR= yang artinya anak yang diberikan ASI Eksklusif memiliki 2,28 kali kemungkinan untuk tidak mengalami stunting. Demikian pula, Dewi 2015, Lailatul & Ni’mah., 2015, Nugroho, 2016, dengan OR=3,7. Begitupun, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi terkait pemberian asi eksklusif dengan OR 2,50-6,53. Hasil review ini juga mengidentifikasi tiga penelitian yang tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya Ahmad et al., 2018; Komaruddin et al., 2019; Fekadu et al., 2015. Perbedaan hasil penelitian terkait pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting dikarenakan pada penelitian Komaruddin et al., 2019 sampel penelitian yang diberikan ASI eksklusif memiliki jumlah sampel kecil, meskipun pada hasil penelitian ini tidak ada kaitan dengan kejadia stunting, namun pada penelitian ini ditemukan bukti bahwa menyusui dikaitkan dengan penambahan berat badan dan rendahnya morbiditas stunting pada anak dan memiliki peran dalam pencegahan malnutrisi. Begitupun, Ahmad et al., 2018 yang menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif mengalami stunting sebanyak 67 28% anak dan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 42 27,6% anak, meskipun Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52 2021 1771 jumlah anak yang diberi ASI eksklusif lebih banyak yang mengalami stunting namun secara presentasi hanya terdapat perbedaan 0,4% pada anak stunting yang diberikan ASI eksklusif dan tidak eksklusif. Hasil review ini juga mengidentifikasi hubungan antara frekuensi menyusui dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Penelitian Terati et al., 2018 di Indonesia menemukan ada hubungan antara frekuensi menyusui dengan stunting p=0,002. Demikian pula, Tian et al., 2019 di Distrik Changsha China menemukan terhentinya pemberian ASI eksklusif setelah 3 bulan pemberian dan pemberian ASI eksklusif selama 3 bulan dan dilanjutkan pemberian susu formula dan makan pada memiliki tingkat kejadian stunting yang tinggi. Hal ini dikarenakan, pada saat usia 0-6 bulan ASI mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi. Sehingga, pemberian susu formula di usia 3 bulan akan mengurangi perlindungan yang didapat dari ASI eksklusif dan seluruh manfaat ASI yang telah diperoleh sebelumnya. Cetthakrikul et al., 2018 di Thailand menunjukkan, anak yang diberikan ASI eksklusif berkepanjangan yakni lebih dari 12 bulan pada keluarga miskin menjadi penyebab terjadinya stunting. Penelitian dilakukan pada komunitas keluarga miskin, dimana keluarga memiliki keterbatasan perekonomian, sehingga ibu kesulitan memberikan nutrisi yang sesuai kebutuhan anak. Oleh sebab itu, ibu hanya memberikan ASI saja selama 12 bulan. Sedangkan, ASI yang diberikan ibu juga kemungkinan tidak memiliki asupan gizi yang cukup. Pemberian ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi anak sampai usia 6 bulan. Sedangkan setelah memasuki usia 6 bulan lebih, ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga perlu diberikan makanan tambahan, dengan tetap diberikan ASI hingga usia 24 bulan atau lebih. Oleh sebab itu, pemberian ASI yang berkepanjangan dapat menyebabkan anak mengalami stunting. Hal ini sesuai dengan Julianti 2020 di Indonesia yang menunjukkan, anak yang tidak diberi ASI Eksklusif memiliki 40,9% risiko stunting. Begitupun, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia menunjukkan frekuensi menyusui pada bayi dapat mengurangi risiko bayi stunting. Sehingga, pemberian ASI eksklusif diidentifikasi sebagai salah satu faktor pemberian nutrisi yang berhubungan dengan kejadian stunting. Untuk itu, sebagai upaya pencegahan dan penanganan kondisi tersebut, penting untuk memperhatikan pemberian ASI sesuai dengan indikasi eksklusif. Pemberian MP-ASI Berdasarkan hasil review, pemberian ASI hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sampai usia 6 bulan, sehingga pada bayi usia 6 bulan-24 bulan perlu dilakukan pemberian Makanan Pendamping ASI untuk mencukupi kebutuhan gizi anak. Hasil penelitian Bukusuba et al., 2017 di Uganda menunjukkan praktik pemberian makan pada bayi dan anak-anak atau infant and young child feeding IYCF yang kurang tepat p0,05. Sama seperti, Khasanah et al., 2016 di Indonesia menunjukkan waktu pertama kali pemberian makanan pendamping ASI berhubungan signifikan dengan kejadian stunting OR=2,867. Demikian pula, Mihrete 2018 di wiliyah Somali State, Ethiopia Faktor Pemberian Nutrisi Masa Golden Age dengan Kejadian Stunting pada Balita di Negara Berkembang DOI 1772 Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 52, 2021 menunjukkan pengenalan Makanan Pendamping ASI sebelum 6 bulan signifikan terhadap stunting. Pemberian makanan penamping ASI terlalu dini dapat menyebakan anak tidak memperoleh manfaat ASI eksklusif. Pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini yakni pemberian makan sebelum usia anak lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan anak cepat merasa kenyang, namun kebutuhan asupan gizi yang seharusnya belum terpenuhi. Selain itu, anak akan malas untuk menyusu dan menyebabkan anak tidak memperoleh ASI. Padahal, ASI memiliki komposisi gizi yang lengkap, sehingga dapat membantu bayi terhindar dari malnutrisi, merangsang kecerdasan emosional dan fungsi otak maskimal Astutik, 2014; Maryunani, 2012. Hasil review ini juga mengidentifikasi, pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi, tekstur, dan waktu pemberian makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari penelitian Nurdin et al., 2019 di Indonesia yang menunjukkan pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak memperhatikan frekuensi memiliki OR=3,90. Demikian pula, Pandey & Singh 2016 di Distrik India Tengah yang menunjukkan tingginya kejadian malnutrisi akibat kurangnya pemberian makan semi padat, dan pemberian Makanan Pendamping yang jarang dengan OR=3,01-8,39. Demikian pula, Ahmad et al., 2018 di Indonesia menunjukkan Pemberian makanan tambahan yang tepat waktu dan beragam berkaitan dengan kejadian stunting P=0,015. Selain itu, hasil review juga mengidentifikasi pemberian makanan pendamping ASI yang tidak memperhatikan variasi/keragaman makanan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Negara Berkembang. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Balalian et al., 2017 di Armenia, yang menunjukkan Anak usia 6-24 bulan yang diberikan Makanan Pendamping yang beragam memiliki peluang 72% lebih rendah untuk menjadi stunting p 3 kali dalam seminggu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting. Simpulan Faktor ibu yaitu pendidikan ibu, riwayat KEK, pola pemberian MPASI, dan pola asuh merupakan faktor risiko kejadian Asia has >50% of the global burden of low birth weight LBW. The objective was to determine the extent to which maternal nutrition interventions commenced before conception or in the 1st trimester improved fetal growth in this region. This was a secondary analysis of combined newborn anthropometric data for the South Asian sites India and Pakistan in the Women First Preconception Maternal Nutrition Trial. Participants were 972 newborn of mothers who were poor, rural, unselected on basis of nutritional status, and had been randomized to receive a daily lipid-based micronutrient supplement commencing ≥3 months prior to conception Arm 1, in the 1st trimester Arm 2, or not at all Arm 3. An additional protein-energy supplement was provided if BMIQianling TianXiao GaoTingting ShaYan YanObjective This study was aimed to examine the effect of feeding patterns on growth and nutritional status of children aged 0~24 months. Methods We conducted a cohort study with an initial sample of 927 children. Considering the follow-up losses, 903, 897, 895, 897, 883, 827 and 750 children were followed up at 1, 3, 6, 8, 12, 18 and 24 months, respectively. Children were grouped according to exclusive breastfeeding EBF duration in the first 6 months 1 never EBF; 2 EBF ≤ 3 months EBF ≤ 3 months and stopped BF after 3 months or EBF ≤ 3 months and BF = 6 months or EBF ≤ 3 months and BF after 3 months, had formula and/or solids; 3 EBF for 3 ~ 6 months BF 70% of the children were not meeting the minimum acceptable diet, and most of the women did not improve their diet during pregnancy. Inadequate nutrition during the first 1000 days is highly prevalent in Cambodia. A comprehensive national Mother, Infant and Young Child Nutrition strategy needs to be developed and operationalized to improve feeding practices of Cambodian women and SD SitumeangEtti Sudaryati Mira JumirahStunting is a chronic nutritional problem due to insufficient intake for a long time, in Indonesia the prevalence is high. The World Health Organization WHO classifies if the length/height z score is below −2 SD. The purpose of this study was to analyze the correlation between parenting, and nutrient intake energy and protein with stunting in children aged 24-59 years. This study used a cross sectional design with a sample of 117 children. Data collection was carried out with questionnaire instruments for parenting, and 24-hour food recall for nutritional intake. Data stunting was performed by comparing the height of the children measured by the WHO growth standards. Correlation analysis using Pearson correlation analysis. The results showed that the prevalence of stunting for children aged 24-59 months was There was a significant correlation between parenting with stunting r = and p = energy intake with stunting r = and p = and protein intake with stunting r = and p = It is recommended that the Ministry of Health improve nutrition surveillance programs, and encourage the community to monitor the growth of children under five years every month in health services.
KunciJawaban dan Pembahasan Soal Biologi SMA XI IPA Semester 2. 1. Asfiksi adalah salah satu gangguan pernapasan pada manusia. Hal ini disebabkan oleh . 2. Antigen asing disintesis oleh . 3. Hati merupakan salah satu alat ekskresi yang menghasilkan zat sisa . 4.

Jika tangan atau kaki Anda belakangan sering terasa kram, kebas, kesemutan, nyeri, atau lemah otot, coba tengok kembali asupan vitamin Anda. Pasalnya, berbagai keluhan tersebut bisa menandakan gangguan saraf tepi akibat kekurangan vitamin neurotropik. Vitamin neurotropik adalah kelompok vitamin yang terdiri dari vitamin B1 tiamin, vitamin B6 piridoksin, dan vitamin B12 kobalamin. Masing-masing vitamin memiliki fungsi tersendiri, tapi ketiganya sama-sama penting bagi kesehatan sistem saraf. Apa itu vitamin neurotropik? Walaupun hampir semua vitamin dan mineral bermanfaat bagi kesehatan sistem saraf, vitamin neurotropik memiliki manfaat khusus bagi sistem ini. Berikut adalah sederet fungsinya bagi kesehatan saraf Anda 1. Vitamin B1 tiamin Orang dewasa di atas 14 tahun membutuhkan 1,3 mg vitamin B1 setiap harinya. Fungsi utama vitamin B1 adalah membantu sel mengubah karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan kemudian digunakan untuk menjalankan berbagai aktivitas seluruh sel pada tubuh. Terutama sel-sel otak dan sistem saraf. Sebagai vitamin neurotropik, vitamin B1 berfungsi sebagai pelindung dari kerusakan sekaligus mendukung aktivitas sel saraf. Kekurangan vitamin B1 akan menimbulkan gejala berupa kesemutan, rasa tertusuk atau terbakar pada lengan dan kaki, berkurangnya kemampuan refleks, serta tubuh jadi lesu. Anda bisa memenuhi kebutuhan vitamin B1 dengan mengonsumsi daging sapi, kacang-kacangan, beras, serta sayur-sayuran. Untuk mengoptimalkan asupan vitamin B1 harian, Anda pun dapat mengonsumsi suplemen atau makanan yang telah diperkaya dengan vitamin ini.

Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui . Dendrit Neurit Sinapsis Sel Schwann Nodus ranvier IN I. Nurazizah Master Teacher Mahasiswa/Alumni Universitas Indonesia Jawaban terverifikasi Jawaban pilihan jawaban yang tepat adalah D. Pembahasan Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf.
Latihan Soal Online - Latihan Soal SD - Latihan Soal SMP - Latihan Soal SMA Kategori Semua Soal SMA Biologi Acak ★ Ujian Semester 2 UAS / UKK Biologi SMA Kelas 11Pemberian nutrisi pada sel saraf terjadi melalui … A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier Pilih jawaban kamu A B C D E Latihan Soal SD Kelas 1Latihan Soal SD Kelas 2Latihan Soal SD Kelas 3Latihan Soal SD Kelas 4Latihan Soal SD Kelas 5Latihan Soal SD Kelas 6Latihan Soal SMP Kelas 7Latihan Soal SMP Kelas 8Latihan Soal SMP Kelas 9Latihan Soal SMA Kelas 10Latihan Soal SMA Kelas 11Latihan Soal SMA Kelas 12Preview soal lainnya Ujian Semester 1 UAS Biologi SMA Kelas 10Mencegah wabah penyakit ….. Vaksin yang dapat diberikan secara oral melalui mulut adalah vaksin untuk a. demam berdarah b. trakom c. rabies d. polio e. cacar Materi Latihan Soal LainnyaBusur dan Juring - Matematika SMP Kelas 8Mobilitas Sosial - IPS SMP Kelas 8Remidi PTS PAI SD Kelas 6PAT Fiqih MI Kelas 5Sistem Pencernaan Manusia - IPA Tema 3 Subtema3 SD Kelas 5Ulangan Tema 8 SD Kelas 4Poros MaritimFitokimiaKegiatan Ekonomi - IPS SD Kelas 5Tema 8 Subtema 2 PB 1 SD Kelas 5Cara Menggunakan Baca dan cermati soal baik-baik, lalu pilih salah satu jawaban yang kamu anggap benar dengan mengklik / tap pilihan yang Jika halaman ini selalu menampilkan soal yang sama secara beruntun, maka pastikan kamu mengoreksi soal terlebih dahulu dengan menekan tombol "Koreksi" diatas. Tentang Soal Online adalah website yang berisi tentang latihan soal mulai dari soal SD / MI Sederajat, SMP / MTs sederajat, SMA / MA Sederajat hingga umum. Website ini hadir dalam rangka ikut berpartisipasi dalam misi mencerdaskan manusia Indonesia.
Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier

Sistem saraf Sistem saraf manusia. Rincian Pengidentifikasi Bahasa Latin systema nervosum MeSH D009420 TA98 FMA 7157 Daftar istilah anatomi [sunting di Wikidata] Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses fisiologis tubuh. Sistem saraf merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena terdiri dari jutaan sel saraf neuron yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan bahasa, pikiran dan ingatan. Satuan kerja utama dalam sistem saraf adalah neuron yang diikat oleh sel-sel glia. Sistem saraf pada vertebrata secara umum dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat SSP dan sistem saraf tepi SST. SSP terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SST utamanya terdiri dari saraf tepi, yang merupakan serat panjang yang menghubungkan SSP ke setiap bagian dari tubuh. SST meliputi saraf motorik, yang memediasi pergerakan-pergerakan volunter disadari, sistem saraf otonom, meliputi sistem saraf simpatis, sistem saraf parasimpatis, dan fungsi regulasi pengaturan involunter tanpa disadari dan sistem saraf enterik pencernaan, sebuah bagian yang semi-bebas dari sistem saraf yang fungsinya adalah untuk mengontrol sistem pencernaan. Pada tingkatan seluler, sistem saraf didefinisikan dengan keberadaan jenis sel khusus, yang disebut neuron, yang juga dikenal sebagai sel saraf. Neuron memiliki struktur khusus yang mengizinkan neuron untuk mengirim sinyal secara cepat dan presisi ke sel lain. Neuron mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia yang berjalan sepanjang serabut tipis yang disebut akson, yang mana akan menyebabkan bahan kimia yang disebut neurotransmitter dilepaskan di pertautan yang dinamakan sinaps. Sebuah sel yang menerima sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi, terhambat, atau termodulasi. Hubungan antara neuron membentuk sirkuit neural yang membuat persepsi organisme dari dunia dan menentukan tingkah lakunya. Bersamaan dengan neuron, sistem saraf mengangung sel khusus lain yang dinamakan sel glia atau sederhananya glia, yang menyediakan dukungan struktural dan metabolik. Sistem saraf ditemukan pada kebanyakan hewan multiseluler, tetapi bervariasi dalam kompleksitas.[1] Hewan multiseluler yang tidak memiliki sistem saraf sama sekali adalah porifera, placozoa dan mesozoa, yang memiliki rancangan tubuh sangat sederhana. Sistem saraf ctenophora dan cnidaria contohnya, anemon, hidra, koral dan ubur-ubur terdiri dari jaringan saraf difus. Semua jenis hewan lain, terkecuali beberapa jenis cacing, memiliki sistem saraf yang meliputi otak, sebuah central cord atau 2 cords berjalan paralel, dan saraf yang beradiasi dari otak dan central cord. Ukuran dari sistem saraf bervariasi dari beberapa ratus sel dalam cacing tersederhana, sampai pada tingkatan 100 triliun sel pada manusia. Pada tingkatan paling sederhana, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari satu sel ke sel lain, atau dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Sistem saraf rawan terhadap malafungsi dalam berbagai cara, sebagai hasil cacat genetik, kerusakan fisik akibat trauma atau racun, infeksi, atau penuaan. Kekhususan penelitian medis di bidang neurologi mempelajari penyebab malafungsi sistem saraf, dan mencari intervensi yang dapat mencegahnya atau memperbaikinya. Dalam sistem saraf perifer/tepi SST, masalah yang paling sering terjadi adalah kegagalan konduksi saraf, yang mana dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab termasuk neuropati diabetik dan kelainan demyelinasi seperti sklerosis ganda dan sklerosis lateral amiotrofik. Ilmu yang memfokuskan penelitian/studi tentang sistem saraf adalah neurosains. Struktur [sunting sunting sumber] Nama sistem saraf berasal dari “saraf”, yang mana merupakan bundel silinder serat yang keluar dari otak dan central cord, dan bercabang-cabang untuk menginervasi setiap bagian tubuh.[2] Saraf cukup besar untuk dikenali oleh orang Mesir, Yunani dan Romawi Kuno,[3] tetapi struktur internalnya tidaklah dimengerti sampai dimungkinkannya pengujian lewat mikroskop.[4] Sebuah pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa saraf utamanya terdiri dari akson dari neuron, bersamaan dengan berbagai membran selubung yang membungkus saraf dan memisahkan mereka menjadi fasikel. Neuron yang membangkitkan saraf tidak berada sepenuhnya di dalam saraf itu sendiri; badan sel mereka berada di dalam otak, central cord, atau ganglia perifer tepi.[2] Seluruh hewan yang lebih tinggi tingkatannya daripada porifera memiliki sistem saraf. Namun, bahkan porifera, hewan uniseluler, dan non-hewan seperti jamur lendir memiliki mekanisme pensinyalan sel ke sel yang merupakan pendahulu neuron.[5] Dalam hewan simetris radial seperti ubur-ubur dan hidra, sistem saraf terdiri dari jaringan difus sel terisolasi.[6] Dalam hewan bilateria, yang terdiri dari kebanyakan mayoritas spesies yang ada, sistem saraf memiliki stuktur umum yang berasal awal periode Kambrium, lebih dari 500 juta tahun yang lalu.[7] Sel [sunting sunting sumber] Sistem saraf memiliki 2 kategori atau jenis sel neuron dan sel glia. Neuron [sunting sunting sumber] Sel saraf didefinisikan oleh keberadaan sebuah jenis sel khusus— neuron kadang-kadang disebut “neurone” atau “sel saraf”.[2] Neuron dapat dibedakan dari sel lain dalam sejumlah cara, tetapi sifat yang paling mendasar adalah bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan sel lain melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang mengandung mesin molekular dan mengizinkan transmisi sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi.[2] Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek. Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang dibentuk oleh sel Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann merupakan sel glia utama pada sistem saraf perifer yang berfungsi membentuk selubung mielin. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat mempercepat penghantaran impuls. Bahkan dalam sistem saraf spesies tunggal seperti manusia, terdapat beratus-ratus jenis neuron yang berbeda, dengan bentuk, morfologi, dan fungsi yang beragam.[8] Ragam tersebut meliputi neuron sensorik yang mentransmisikan stimuli fisik seperti cahaya dan suara menjadi sinyal saraf, dan neuron motorik yang mentransmisikan sinyal saraf menjadi aktivasi otot atau kelenjar; namun dalam kebanyakan spesies kebanyakan neuron menerima seluruh masukan mereka dari neuron lain dan mengirim keluaran mereka pada neuron lain.[2] Sel Glia [sunting sunting sumber] Sel glia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “lem” adalah sel non-neuron yang menyediakan dukungan dan nutrisi, mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan berpartisipasi dalam transmisi sinyal dalam sistem saraf.[9] Dalam otak manusia, diperkirakan bahwa jumlah total glia kasarnya hampir setara dengan jumlah neuron, walaupun perbandingannya bervariasi dalam daerah otak yang berbeda.[10] Di antara fungsi paling penting dari sel glia adalah untuk mendukung neuron dan menahan mereka di tempatnya; untuk menyediakan nutrisi ke neuron; untuk insulasi neuron secara elektrik; untuk menghancurkan patogen dan menghilangkan neuron mati; dan untuk menyediakan petunjuk pengarahan akson dari neuron ke sasarannya.[9] Sebuah jenis sel glia penting oligodendrosit dalam susunan saraf pusat, dan sel Schwann dalam sistem saraf tepi menghasilkan lapisan sebuah substansi lemak yang disebut mielin yang membungkus akson dan menyediakan insulasi elektrik yang mengizinkan mereka untuk mentransmisikan potensial aksi lebih cepat dan lebih efisien. Macam-macam neuroglia di antaranya adalah astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan makroglia . Anatomi pada vertebrata [sunting sunting sumber] Diagram yang menunjukkan pembagian utama dari sistem saraf vertebrata. Sistem saraf dari hewan vertebrata termasuk manusia dibagi menjadi sistem saraf pusat SSP dan sistem saraf tepi SST.[11] Sistem saraf pusat SSP adalah bagian terbesar, dan termasuk otak dan sumsum tulang belakang.[11] Kavitas tulang belakang mengandung sumsum tulang belakang, sementara kepala mengandung otak. SSP tertutup dan dilindungi oleh meninges, sebuah sistem membran 3 lapis, termasuk lapisan luar berkulit yang kuat, yang disebut dura mater. Otak juga dilindungi oleh tengkorak, dan sumsum tulang belakang oleh vertebra tulang belakang. Sistem saraf tepi SST adalah terminologi/istilah kolektif untuk struktur sistem saraf yang tidak berada di dalam SSP.[12] Kebanyakan mayoritas bundel akson disebut saraf yang dipertimbangkan masuk ke dalam SST, bahkan ketika badan sel dari neuron berada di dalam otak atau spinal cord. SST dibagi menjadi bagian somatik dan viseral. Bagian somatik terdiri dari saraf yang menginervasi kulit, sendi, dan otot. Badan sel neuron sensorik somatik berada di dorsal root ganglion sumsum tulang belakang. Bagian viseral, juga dikenal sebagai sistem saraf otonom, mengandung neuron yang menginervasi organ dalam, pembuluh darah, dan kelenjar. Sistem saraf otonom sendiri terdiri dari 2 bagian sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Beberapa penulis juga memasukkan neuron sensorik yang badan selnya ada di perifer untuk indra seperti pendengaran sebagai bagan dari SST; namun yang lain mengabaikannya.[13] Potongan horisontal kepala perempuan dewasa yang menunjukkan kulit, tengkorak, dan otak dengan grey matter coklat dalam gambar ini dan white matter yang berada di bawahnya. Sistem saraf vertebrata juga dapat dibagi menjadi daerah yang disebut grey matter “gray matter” dalam ejaan Amerika dan white matter.[14] Grey matter yang hanya berwarna abu-abu bila disimpan, dan berwarna merah muda pink atau coklat muda dalam jaringan yang hidup mengandung proporsi tinggi badan sel neuron. White matter komposisi utamanya adalah akson bermielin, dan mengambil warnanya dari mielin. White matter meliputi seluruh saraf dan kebanyakan dari bagian dalam otak dan sumsum tulang belakang. Grey matter ditemukan dalam kluster neuron dalam otak dan sumsum tulang belakang, dan dalam lapisan kortikal yang menggarisi permukaan mereka. Ada perjanjian anatomis bahwa kluster neuron dalam otak atau sumsum tulang belakang disebut nukleus, sementara sebuah kluster neuron di perifer disebut ganglion.[15] Namun ada beberapa perkecualian terhadap aturan ini, yang tercatat termasuk bagian dari otak depan yang disebut basal ganglia.[16] Anatomi perbandingan dan evolusi [sunting sunting sumber] Pendahulu saraf dalam porifera [sunting sunting sumber] Porifera tidak memiliki sel yang berhubungan dengan satu sama lain dengan pertautan sinaptik, yaitu tidak ada neuron, dan oleh karena itu tidak ada sistem saraf. Namun, mereka memiliki homolog dari banyak gen yang memainkan peran penting dalam fungsi sinaptik. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa sel porifera mengekspresikan sekelompok protein yang berkelompok bersama membentuk struktur yang mirip dengan sebuah densitas postsinaptik bagian sinaps yang menerima sinyal.[5] Namun, fungsi struktur ini saat ini masih belum jelas. Walaupun sel porifera tidak menunjukkan transmisi sinaptik, mereka berkomunikasi dengan satu sama lain melalui gelombang kalsium dan impuls lain, yang memediasi beberapa aksi sederhana seperti kontraksi seluruh tubuh.[17] Radiata [sunting sunting sumber] Ubur-ubur, jelly sisir, dan hewan lain yang berhubungan memiliki jaringan saraf difus daripada sebuah sistem saraf pusat. Dalam kebanyakan ubur-ubur, jaringan saraf tersebar kurang lebih merata di seluruh tubuh; dalam jelly sisir jaringan saraf terkonsentrasi dekat dengan mulut. Jaringan saraf terdiri dari neuron sensorik, yang mengambil sinyal kimia, taktil, dan visual; neuron motorik, yang dapat mengaktivasi kontraksi dinding tubuh; dan neuron intermediat, yang mendeteksi pola aktivitas dalam neuron sensorik, dan dalam respons, mengirim sinyal ke kelompok neuron motorik. Dalam beberapa kasus, kelompok neuron sedang berkelompok menjadi ganglia yang berlainan.[6] Perkembangan sistem saraf dalam radiata relatif tidak terstruktur. Tidak seperti bilateria, radiata hanya memiliki dua lapisan sel primordial, endoderm dan ektoderm. Neuron dihasilkan dari sebuah sel khusus dari sel pendahulu ektodermal, yang juga bertindak sebagai pendahulu untuk setiap jenis sel ektodermal lain.[18] Bilateria [sunting sunting sumber] Kebanyakan hewan yang ada adalah bilateria, yang artinya hewan dengan sisi kiri dan kanan yang kurang lebih simetris. Semua bilateria diperkirakan diturunkan dari nenek moyang bersama seperti cacing yang muncul pada periode Kambrium, 550–600 juta tahun yang lalu.[7] Bentuk tubuh bilateria dasar adalah sebuah tuba dengan kavitas usus yang berjalan dari mulut ke anus, dan sebuah nerve cord dengan perbesaran sebuah “ganglion” untuk setiap segmen tubuh, dengan kekhususan sebuah ganglion besar di depan, yang disebut “otak”. Daerah permukaan tubuh manusia yang diinervasi oleh setiap saraf tulang belakang. Bahkan mamalia, termasuk manusia, menunjukkan rencana tubuh bilateria tersegmentasi pada tingkatan sistem saraf. Sumsum tulang belakang mengandung serangkaian segmental ganglia, yang masing masing membangkitkan saraf motorik dan sensorik yang menginervasi bagian permukaan tubuh dan otot-otot yang membawahinya. Pada anggota tubuh, tata letak pola inervasi kompleks, tetapi pada bagian ini muncul serangkaian pita sempit. Tiga segmen teratas dimiliki oleh otak, membangkitkan otak depan, otak tengah, dan otak belakang.[19] Bilateria dapat terbagi, berdasarkan peristiwa yang dapat terjadi sangat awal dalam perkembangan embrionik, menjadi 2 kelompok superfila yang disebut protostomia dan deuterostomia.[20] Deuterostomia meliputi vertebrata sebagaimana echinodermata, hemichordata, dan xenoturbella.[21] Protostomia, kelompok yang lebih beragam, meliputi artropoda, moluska, dan berbagai jenis cacing. Ada perbedaan mendasar di antara 2 kelompok dalam penempatan sistem saraf di dalam tubuh protostomia memiliki sebuah nerve cord pada bagian sisi ventral biasanya di bawah, sementara dalam deuterostomia nerve cord biasanya ada di sisi dorsal biasanya atas. Nyatanya, berbagai aspek tubuh terbalik pada kedua kelompok, termasuk pola ekspresi beberapa gen menunjukkan gradien dorsal-ke-ventral. Kebanyakan anatomis sekarang mempertimbangkan badan protostomes dan deuterostomes “terbalik” satu sama lain, sebuah hipotesis yang pertama kali diajukan oleh Geoffroy Saint-Hilaire untuk serangga dalam perbandingan dengan vertebrata. Jadi serangga, contohnya, memiliki nerve cord yang berjalan sepanjang garis tengah ventral tubuh, sementara seluruh vertebrata memiliki sumsum tulang belakang yang berjalan sepanjang garis tengah dorsal.[22] Artropoda [sunting sunting sumber] Anatomi internal seekor laba-laba, menunjukkan sistem saraf dalam warna biru . Artropoda, seperti serangga dan krustasea, memiliki sebuah sistem saraf terbuat dari serangkaian ganglia, terhubung oleh ventral nerve cord yang terdiri dari 2 koneksi paralel di sepanjang perut..[23] Secara umum, setiap segmen tubuh memiliki 1 ganglion pada setiap sisi, walaupun beberapa ganglia berfungsi membentuk otak dan ganglia besar lain. Segmen kepala mengandung otak, juga dikenal sebagai supraesophageal ganglion. Dalam sistem saraf serangga, otak secara anatomis dibagi menjadi protocerebrum, deutocerebrum, dan tritocerebrum. Langsung di belakang otak adalah subesophageal ganglion, yang terbuat dari 3 pasangan ganglia yang berfusi. Ini mengontrol bagian mulut, kelenjar ludah dan otot tertentu. Banyak artropoda memiliki organ sensoris yang berkembang baik, termasuk mata untuk penglihatan dan antena untuk penciuman bau dan feromon. Informasi sensoris dari organ-organ ini diproses oleh otak. Dalam serangga, banyak neuron memiliki badan sel yang bertempat di ujung otak dan secara elektris pasif — badan sel bertugas hanya untuk menyediakan dukungan metabolik dan tidak berpartisipasi dalam pensinyalan. Sebuah serat protoplasmik dari badan sel dan bercabang, dengan beberapa bagian mentransmisikan sinyal dan bagian lain menerima sinyal. Oleh karena itu, kebanyakan bagian dari otak serangga memiliki sel pasif badan sel yang diatur sepanjang periferal, sementara pemrosesan sinyal neural berlangsung dalam sebuah serat protoplasmik disebut neuropil, di bagian dalam.[24] Neuron “Teridentifikasi” [sunting sunting sumber] Sebuah neuron disebut teridentifikasi jika ia memiliki sifat yang membedakannya dari setiap neuron lain dalam hewan yang sama—sifat seperti lokasi, neurotransmitter, pola ekspresi gen, dan keterhubungan — dan jika setiap individu organisme yang berasal dari spesies yang sama memiliki satu-satunya neuron dengan set sifat yang sama.[25] Dalam sistem saraf vertebrata sangat sedikit neuron yang “teridentifikasi” dalam pengertian ini — dalam manusia, tidak ada — tetapi dalam sistem saraf yang lebih sederhana, beberapa atau semua neuron mungkin jadi akhirnya unik. Dalam cacing bulat C. elegans yang sistem sarafnya paling banyak digambarkan, setiap neuron dalam tubuh secara unik teridentifikasi, dengan lokasi yang sama dan koneksi yang sama dalam setiap individu cacing. Satu akibat yang tercatat dari fakta ini adalah bahwa bentuk sistem saraf C. elegans secara utuh dispesifikkan oleh genom, dengan tidak adanya plasisitas yang tergantung pada pengalaman.[26] Otak dari kebanyakan moluska dan serangga juga mengandung sejumlah neuron teridentifikasi substansial.[25] Dalam vertebrata, neuron teridentifikasi yang paling dikenal adalah sel Mauthner ikan.[27] Setiap ikan memiliki 2 sel Mauthner, yang terletak di bagian bawah dari batang otak, 1 di sisi kiri dan 1 di sisi kanan. Setiap sel Mauthner memiliki akson yang menyebrang, menginervasi neuron pada tingkatan otak yang sama dan kemudian berjalan turun sepanjang sumsum tulang belakang, membentuk berbagai koneksi di sepanjang jalurnya. Sinaps digenerasikan oleh sebuah sel Mauthner yang sangat kuat hingga sebuah potensi aksi tunggal dapat membangkitkan respons tingkah laku mayor dalam waktu millidetik ikan mengkurvakan tubuhnya menjadi bentuk C, kemudian meluruskan diri, oleh karena itu meluncur secara cepat ke depan. Secara fungsional ini adalah respons melarikan diri cepat, dipicu paling mudah oleh sebuah gelombang suara kuat atau gelombang tekanan yang menekan organ garis lateral sisi ikan. Sel Mauthner bukanlah satu-satunya sel neuron teridentifikasi pada ikan,— masih ada lebih dari 20 jenis, termasuk pasangan “analog sel Mauthner ” dalam setiap inti tulang belakang segmental. Walaupun sebuah sel Mauthner mampu membangkitkan respons melarikan diri secara individual, dalam konteks tingkah laku biasa dari jenis sel lain biasanya berkontribusi dalam membentuk amplitudo dan arah respons. Sel Mauthner telah digambarkan sebagai neuron perintah. Sebuah neuron pemberi perintah adalah tipe khusus dari neuron teridentifikasi, didefinisikan sebagai sebuah neuron yang mampu mengendalikan sebuah tingkah laku spesifik secara individual.[28] Neuron seperti ini tampaknya paling umum dalam sistem melarikan diri dari berbagai spesies — akson raksasa cumi-cumi dan sinaps raksasa cumi-cumi, yang digunakan untuk percobaan dalam neurofisiologi karena ukurannya yang sangat besar, berpartisipasi dalam sirkuit pelarian diri yang cepat. Namun, konsep sebuah neuron pemberi perintah masih kontroversial karena penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa neuron yang awalnya tampak cocok dengan deskripsi tersebut ternyata hanya mampu menimbulkan respons dalam keadaan yang terbatas.[29] Fungsi [sunting sunting sumber] Pada tingkatan paling dasar, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari 1 sel ke sel lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Ada berbagai cara sebuah sel dapat mengirimkan sinyal ke sel lain. Satu cara adalah dengan melepaskan bahan kimia yang disebut hormon ke dalam sirkulasi internal, sehingga mereka dapat berdifusi tempat-tempat yang jauh. Berkebalikan dnegan modus pensinyalan “pemancaran”, sistem saraf menyediakan sinyal dari tempat ke tempat—neuron memproyeksikan akson-akson mereka ke daerah sasaran spesifik dan membentuk koneksi sinaptik dengan sel sasaran spesifik.[30] Oleh sebab itu, pensinyalan neural memiliki spesifitas yang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada pensinyalan hormonal. Hal tersebut juga lebih cepat sinyal saraf tercepat berjalan pada kecepatan yang melebihi 100 meter per detik. Pada tingkatan lebih terintegrasi, fungsi primer sistem saraf adalah untuk mengontrol tubuh.[2] Hal ini dilakukan dengan cara mengambil informasi dari lingkungan dengan menggunakan reseptor sensoris, mengirimkan sinyal yang mengodekan informasi ini ke dalam sistem saraf pusat, memproses informasi untuk menentukan sebuath respons yang tepat, dan mengirim sinyal keluaran ke otot atau kelenjar untuk mengaktivasi respons. Evolusi sebuah sistem saraf kompleks telah memungkinkan berbagai spesies hewan untuk memiliki kemampuan persepsi yang lebih maju seperti pandangan, interaksi sosial yang kompleks, koordinasi sistem organ yang cepat, dan pemrosesan sinyal yang berkesinambungan secara terintegrasi. Pada manusia, kecanggihan sistem saraf membuatnya mungkin untuk memiliki bahasa, konsep representasi abstrak, transmisi budaya, dan banyak fitur sosial yang tidak mungkin ada tanpa otak manusia. Neuron dan sinaps [sunting sunting sumber] Elemen utama dalam transmisi sinaptik. Sebuah gelombang elektrokimia yang disebut potensial aksi berjalan di sepanjang akson dari sebuah neuron. Ketika gelombang mencapai sebuah sinaps, ia akan memicu pelepasan sejumlah kecil molekul neurotransmitter, yang berikatan dengan molekul reseptor kimia yang terletak di membran sel sasaran. Kebanyakan neuron mengirimkan sinyal melalui akson, walaupun beberapa jenis mampu melakukan komunikasi dendrit ke dendrit. faktanya, jenis-jenis neuron disebut sel amakrin tidak memiliki akson, dan berkomunikasi hanya melalui dendrit mereka. Sinyal neural berpropagasi sepanjang sebuah akson dalam bentuk gelombang elektrokimia yang disebut potensial aksi, yang menghasilkan sinyal sel ke sel di tempat terminal akson membentuk kontak sinaptik dengan sel lain.[31] Sinaps dapat berupa elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan elektrik langsung di antara neuron-neuron,[32] tetapi sinaps kimia lebih umum, dan lebih beragam dalam fungsi.[33] Di sebuah sinaps kimia, sel mengirimkan sinyal yang disebut presinaptik, dan sel yang menerima sinyal disebut postsinaptik. Baik presinaptik dan postsinaptik penuh dengan mesin molekular yang membawa proses sinyal. Daerah presinaptik mengandung sejumlah besar vessel bulat yang sangat kecil yang disebut vesikel sinaptik, dipenuhi oleh bahan-bahan kimia neurotransmitter.[31] Ketika terminal presinaptik terstimulasi secara elektrik, sebuah susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan menyebabkan isi dari vesikel dilepaskan ke dalam celah sempit di antara membran presinaptik dan postsinaptik, yang disebut celah sinaptik synaptic cleft. Neurotransmitter kemudian berikatan dengan reseptor yang melekat pada membran postsinaptik, menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam status teraktivasi.[33] Tergantung pada tipe reseptor, efek yang dihasilkan pada sel postsinaptik mungkin eksitasi, penghambatan, atau modulasi dalam berbagai cara yang lebih rumit. Contohnya, pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada kontak sinaptik di antara neuron motorik dan sebuah sel otot menginduksi kontraksi cepat dari sel otot.[34] Seluruh proses transmisi sinaptik memerlukan hanya sebuah fraksi dari sebuah milidetik, walaupun efek pada sel postsinaptik mungkin berlangsung lebih lama bahkan tidak terbatas, dalam kasus ketika sinyal sipatik mengarah pada informasi sebuah jejak ingatan.[8] Secara harfiah ada beratus-ratus jenis sinaps. Faktanya, ada lebih dari seratus neurotransmitter yang diketahui, dan banyak di antara mereka memiliki jenis reseptor ganda.[35] Banyak sinaps menggunakan lebih dari 1 neurotransmitter—sebuah pengaturan umum untuk sebuah sinaps adalah menggunakan sebuah molekul neurotransmiter kecil yang bekerja cepat seperti glutamat atau GABA, sejalan dengan 1 atau lebih neurotransmiter peptida yang memainkan peran modulatoris yang lebih lambat. Ahli saraf molekular biasanya membagi reseptor menjadi 2 kelompok besar kanal ion berpagar kimia chemically gated ion channels dan sistem pengantar pesan kedua second messenger system. Ketika sebuah kanal ion berpagar kimia teraktivasi, kanal tersebut akan membentuk sebuah tempat untuk dapat dilalui yang mengizinkan jenis ion tertentu yang spesifik untuk mengalir melalui membran. Tergantung jenis ion, efek pada sel sasaran mungkin eksitasi atau penghambatan. Ketika sebuah sistem pengantar pesan kedua teraktivasi, sistem ini akan memulai kaskade interaksi molekular di dalam sel sasaran, yang pada akhirnya akan memproduksi berbagai macam efek rumit/kompleks, seperti peningkatan atau penurunan sensitivitas sel terhadap stimuli, atau bahkan mengubah transkripsi gen. Menurut hukum yang disebut prinsip Dale, yang hanya memiliki beberapa pengecualian, sebuah neuron melepaskan neurotransmiter yang sama pada semua sinapsnya.[36] Walaupun demikian, bukan berarti bahwa sebuah neuron mengeluarkan efek yang sama pada semua sasarannya, sebab efek sebuah sinaps tergantung tidak hanya pada neurotransmitter, tetapi pada reseptor yang diaktivasinya.[33] Karena sasaran yang berbeda dapat dan umumnya memang menggunakan berbagai jenis reseptor, hal ini memungkinkan neuron untuk memiliki efek eksitatori pada 1 set sel sasaran, efek penghambatan pada yang lain, dan efek modulasi rumit/kompleks pada yang lain. Walaupun demikian, 2 neurotransmitter yang paling sering digunakan, glutamat dan GABA, masing-masing memiliki efek konsisten. Glutamat memiliki beberapa jenis reseptor yang umum ada, tetapi semuanya adalah eksitatori atau modulatori. Dengan cara yang sama, GABA memiliki jenis reseptor yang umum ada, tetapi semuanya adalah penghambatan.[37] Karena konsistensi ini, sel glutamanergik kerapkali disebut sebagai “neuron eksitatori”, dan sel GABAergik sebagai “neuron penghambat”. Ini adalah penyimpangan terminologi — reseptornyalah yang merupakan eksitatori dan penghambat, bukan neuronnya — tetapi hal ini umum terlihat bahkan dalam publikasi ilmiah. Satu subset sinaps yang paling penting mampu membentuk jejak ingatan dengan cara perubahan dalam kekuatan sinaptik tergantung aktivitas yang bertahan lama.[38] Ingatan neural yang paling dikenal adalah sebuah proses yang disebut potensiasi jangka panjang long-term potentiation, disingkat LTP, yang beroperasi pada sinaps yang menggunakan neurotransmitter glutamat yang bekerja pada sebuah jenis reseptor khusus yang dikenal sebagai reseptor NMDA.[39] Reseptor NMDA memiliki sifat “assosiasi” jika 2 sel terlibat dalam sinaps yang terkavitasi keduanya pada kurang lebih waktu yang sama, sebuah kanal terbuka sehingga mengizinkan kalsium untuk mengalir menuju sel sasaran.[40] Pemasukan kalsium memicu sebuah kaskade pengantar pesan kedua yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan sejumlah reseptor glutamat dalam sel sasaran, sehingga meningkatkan kekuatan efektif sinaps. Perubahan kekuatan ini dapat berlangsung beberapa minggu atau lebih panjang. Sejak penemuan LTP pada tahun 1973, banyak jenis jejak ingatan sinaptik ditemukan, termasuk peningkatan atau penurunan dalam kekuatan sinaptik yang diinduksi oleh berbagai kondisi, dan berlangsung dalam berbagai periode yang beragam.[39] Pembelajaran pahala reward learning, contohnya, bergantung pada bentuk variasi dari LTP yang dikondisikan pada sebuah ekstra masukan yang berasal dari jalur pensinyalan pahala reward-signalling pathway menggunakan dopamin sebagai neurotransmitter.[41] Semua bentuk modifikasi sinaptik ini, secara kolektif, menimbulkan neuroplastisitas, yaitu kemampuan sebuah sistem saraf untuk beradaptasi pada variasi dalam lingkungan. Sistem dan sirkuit saraf [sunting sunting sumber] Fungsi dasar neuronal mengirimkan sinyal kepada sel lain meliputi kemampuan neuron untuk mengubah sinyal dengan yang lain. Jaringan kerja terbentuk dengan kelompok saling terhubung dari neuron mampu menjalankan berbagai fungsi, termasuk fitur deteksi, generasi pola, dan pengaturan waktu.[42] Nyatanya, sulit untuk menentukan batas proses jenis informasi yang dapat dikerjakan oleh jaringan saraf Warren McCulloch dan Walter Pitts menunjukkan pada tahun 1943 bahwa bahkan jaringan saraf tiruan dibentuk dari sebuah abstraksi matematika yang sangat disederhanakan mampu melakukan perhitungan universal.[43] Dengan mempertimbangkan fakta bahwa neuron secara individual mampu menggenerasikan pola aktivitas temporal kompleks secara bebas, rentang kemampuan sangat mungkin ada bahkan untuk sekelompok kecil neuron di luar pengertian yang ada sekarang.[42] Penggambaran jalur rasa sakit, dari Treatise of Man karya René Descartes. Dalam sejarah, selama bertahun-tahun pandangan utama dalam fungsi sistem saraf adalah penghubung stimulus-respons.[44] Dalam konsep ini, proses saraf dimulai dengan stimuli yang mengaktifkan neuron sensorik, menghasilkan sinyal yang berpropagasi melalui serangkaian hubungan dalam sumsum tulang belakang dan otak, mengaktifkan neuron motorik dan maka menghasilkan respons seperti kontraksi otot. Descartes percaya bahwa semua tingkah laku hewan, dan kebanyakan tingkah laku manusia, dapat dijelaskan dalam kerangka sirkuit stimulus-respons, walaupun ia juga percaya bahwa fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa tidak mampu dijelaskan secara mekanis.[45] Charles Sherrington, dalam bukunya pada tahun 1906 yang berjudul The Integrative Action of the Nervous System,[44] mengembangkan konsep mekanisme stimulus-respons dengan cara yang lebih detail, dan Behaviorisme, mazhab yang mendominasi psikologi sepanjang pertengahan abad ke-20, mencoba untuk menjelaskan setiap aspek tingkah laku manusia dalam rangka stimulus-respons.[46] Namun, penelitian elektrofisiologi yang dimulai pada awal abad 20 dan mencapai produktivitasnya pada tahun 1940 menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik, tanpa memerlukan stimulus eksternal.[47] Neuron-neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial aksi reguler, atau rangkaian ledakan sequences of bursts, bahkan dalam isolasi penuh.[48] Ketika neuron aktif secara intrinsik terhubung dengan yang lain dalam sirkuit kompleks, kemungkinan penghasilan pola temporer yang lebih rumit menjadi jauh lebih besar.[42] Konsep modern memandang fungsi sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian stimulus-respons, dan sebagian dalam kerangka pola aktivitas yang dihasilkan secara intrinsik — kedua jenis aktivitas berinteraksi dengan yang lain untuk menggenerasikan tingkah laku berulang-ulang.[49] Sirkuit refleks dan rangsang stimulus lainnya [sunting sunting sumber] Skema fungsi saraf dasar yang disederhanakan sinyal diambil oleh reseptor sensoris dan dikirim ke sumsum tulang belakang dan otak, tempat terjadinya pemrosesan yang menghasilkan sinyal dikirim kembali ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke neuron motorik. Jenis sirkuit saraf yang paling sederhana adalah lengkung refleks reflex arc, yang dimulai dari masukan sensoris dan berakhir dengan keluaran motorik, melewati serangkaian neuron di tengahnya.[50] Contohnya adalah “refleks penarikan” yang menyebabkan tangan tertarik ke belakang setelah menyentuh kompor panas. Sirkuit dimulai dengan reseptor sensoris di kulit yang teraktivasi oleh kadar panas yang membahayakan sebuah jenis struktur molekuler khusus melekat pada membran menyebabkan panas untuk mengubah medan listrik di sepanjang membran. Jika perubahan dalam potensial ekletrik cukup besar, ia akan membangkitkan potensial aksi, yang ditransmisikan sepanjang akson sel reseptor, menuju sumsum tulang belakang. Di sana akson akan membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel lain, beberapa dari antaranya memproyeksikan mengirim keluaran aksonal ke regio yang sama dari sumsum tulang belakang, dan yang lain memproyeksikan ke dalam otak. Satu sasaran adalah serangkaian interneuron tulang belakang yang memproyeksikan ke neuron motorik untuk mengontrol otot lengan. Interneuron mengeksitasi neuron motorik, dan jika eksitasi cukup kuat, beberapa dari neuron motorik menghasilkan potensial aksi, yang berjalan sepanjang akson ke titik di mana mereka membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel otot. Sinyal eksitatori memicu kontraksi sel otot, yang menyebabkan sudut sendi dalam lengan berubah, menarik lengan menjauh. Dalam kenyataannya, skema ini berkaitan dengan berbagai komplikasi.[50] Walaupun untuk refleks yang paling sederhana ada jalur saraf pendek dari neuron sensorik ke neuron motorik, ada juga neuron yang dekat yang berpartisipasi dalam sirkuit dan memodulasi respons. Lebih lanjut lagi, ada proyeksi dari otak ke sumsum tulang belakang yang mampu meningkatkan atau menghambat refleks. Walaupun refleks paling sederhana mungkin dimediasi oleh sirkuit berada sepenuhnya di dalam sumsum tulang belakang, respon lebih kompleks/rumit bergantung pada pemprosesan sinyal di dalam otak.[51] Pertimbangkan, contohnya, apa yang terjadi ketika sebuah benda dalam daerah visual perifer bergerak, dan seseorang melihat ke arahnya. Respons sensoris awal, dalam retina mata, dan respons motorik akhir, dalam inti okulomotor dari batang otak, semuanya tidaklah berbeda dari semua di refleks sederhana, tetapi dalam tahap antara benar-benar berbeda. Tidak hanya 1 atau 2 langkah rangkaian pemrosesan, sinyal visual melewati mungkin selusinan tahap integrasi, melibatkan thalamus, cerebral cortex, basal ganglia, superior colliculus, cerebellum, dan beberapa inti batang otak. Daerah-daerah ini membentuk fungsi pemrosesan sinyal yang meliputi deteksi fitur, analisis persepsi, pemanggilan kembali ingatan, pengambilan keputusan, dan perencanaan motorik.[52] Deteksi fitur adalah kemampuan untuk mengekstraksi secara biologis informasi yang relevan dari kombinasi sinyal sensoris.[53] Dalam sistem penglihatan, contohnya, reseptor sensoris dalam retina mata hanya mampu untuk mendeteksi “titik cahaya” dalam dunia luar secara individual.[54] Neuron penglihatan tingkat kedua menerima masukan dari kelompok-kelompok reseptor primer, neuron yang lebih tinggi menerima masukan dari kelompok-kelompok neuron tingkat kedua, dan seterusnya, membentuk tingkatan proses hierarkis. Pada setiap tahapan, infromasi penting diekstraksi dari sinyal yang dikumpulkan dan informasi yang tidak penting dibuang. Di akhir proses, masukan sinyal mewakili “titik cahaya” telah ditransformasikan menjadi perwakilan saraf dari objek dalam dunia sekitarnya dan sifatnya. Pemrosesan sensoris paling canggih terjadi dalam otak, tetapi fitur ekstraksi kompleks juga terjadi di sumsum tulang belakang dan organ sensoris periferal seperti retina. Penghasilan pola intrinsik [sunting sunting sumber] Walaupun mekanisme respons-stimulus adalah yang paling mudah dimengerti, sistem saraf juga dapat mengontrol tubuh dalam berbagai cara yang tidak memerlukan stimulus luar, melalui irama aktivitas yang dihasilkan dari dalam. Karena berbagai kanal ion sensitif terhadap voltasi yang dapat melekat dalam membran dalam sebuah neuron, berbagai jenis neuron mampu, bahkan dalam isolasi, menggenerasikan sekuens irama potensial aksi, atau perubahan irama di antara ledakan tingkat tinggi dan masa tenang. Ketika neuron secara irama intrinsik terkoneksi dengan yang lain oleh respons sinaps-sinaps eksitatoris atau penghambatan, jaringan kerja yang dihasilkan mampu menghasilkan tingkah laku dinamis yang beragam, termasuk dinamika penarikan attractor, periodisitas, dan bahkan chaos. Sebuah jaringan kerja neuron yang menggunakan struktur internalnya untuk menghasilkan keluaran terstruktur secara temporer, tanpa memerlukan stimulus terstruktur yang berkorespondensi secara temporer disebut sebagai generator pola pusat. Penggenerasian pola internal beroperasi dalam rentang yang luas berdasarkan skala waktu, dari millidetik sampai jam atau lebih lama lagi. Satu dari jenis penting pola temporal adalah irama sirkadian — yaitu, irama dengan sebuah periode kira-kira 24 jam. Semua hewan yang telah diteliti menunjukkan fluktuasi sirkadian dalam aktivitas neural, yang mengontrol perubahan sirkadian dalam tingkah laku seperti siklus tidur-bangun. Penelitian dari tahun 1990an telah menunjukkan bahwa irama sirkadian digenerasikan oleh sebuah “jam genetik” yang terdiri dari sekelompok gen khusus yang kadar ekspresinya meningkat dan menurun sepanjang hari. Hewan yang beragam seperti serangga dan vertebrata memiliki sistem jam genetik yang sama. Jam sirkadian dipengaruhi oleh cahaya tetapi terus berlanjut bekerja bahkan ketika kadar cahaya dipertahankan konstan dan tidak ada petunjuk waktu hari eksternal lain tersedia. Gen jam ini diekspresikan dalam berbagai bagian sistem saraf sebagaimana banyak organ periferal, tetapi dalam mamalia seluruh “jam jaringan” ini dipertahankan dalam sinkronisasi oleh sinyal yang keluar dari sebuah penjaga waktu utama dalam bagian kecil dalam otak yang disebut inti suprakiasmatik. Penghantaran rangsang [sunting sunting sumber] Semua sel dalam tubuh manusia memiliki muatan listrik yang terpolarisasi, dengan kata lain terjadi perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam dari suatu membran sel, tidak terkecuali sel saraf neuron. Perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran ini disebut potensial membran. Informasi yang diterima oleh Indra akan diteruskan oleh saraf dalam bentuk impuls. Impuls tersebut berupa tegangan listrik. Impuls akan menempuh jalur sepanjang akson suatu neuron sebelum dihantarkan ke neuron lain melalui sinapsis dan akan seperti itu terus hingga mencapai otak, dimana impuls itu akan diproses. Kemudian otak mengirimkan impuls menuju organ atau indra yang dituju untuk menghasilkan efek yang diinginkan melalui mekanisme pengiriman impuls yang sama. Membran hewan memiliki potensial istirahat sekitar -50 mV s/d -90 mV, potensial istirahat adalah potensial yang dipertahankan oleh membran selama tidak ada rangsangan pada sel. Datangnya stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada membran sel, hal tersebut menyebabkan terjadinya potensial kerja. Potensial kerja adalah perubahan tiba-tiba pada potensial membran karena datangnya rangsang. Pada saat potensial kerja terjadi, potensial membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahatnya -70 mV berubah menjadi +40 mV. Akson vertebrata umumnya memiliki selubung mielin. Selubung mielin terdiri dari 80% lipid dan 20% protein, menjadikannya bersifat dielektrik atau penghambat aliran listrik dan hal ini menyebabkan potensial kerja tidak dapat terbentuk pada selubung mielin; tetapi bagian dari akson bernama nodus Ranvier tidak diselubungi oleh mielin. Penghantaran rangsang pada akson bermielin dilakukan dengan mekanisme hantaran saltatori, yaitu potensial kerja dihantarkan dengan “melompat” dari satu nodus ke nodus lainnya hingga mencapai sinapsis. Pada ujung neuron terdapat titik pertemuan antar neuron bernama sinapsis, neuron yang mengirimkan rangsang disebut neuron pra-sinapsis dan yang akan menerima rangsang disebut neuron pasca-sinapsis. Ujung akson setiap neuron membentuk tonjolan yang didalamnya terdapat mitokondria untuk menyediakan ATP untuk proses penghantaran rangsang dan vesikula sinapsis yang berisi neurotransmitter umumnya berupa asetilkolin ACh, adrenalin dan noradrenalin. Ketika rangsang tiba di sinapsis, ujung akson dari neuron pra-sinapsis akan membuat vesikula sinapsis mendekat dan melebur ke membrannya. Neurotransmitter kemudian dilepaskan melalui proses eksositosis. Pada ujung akson neuron pasca-sinapsis, protein reseptor mengikat molekul neurotransmitter dan merespon dengan membuka saluran ion pada membran akson yang kemudian mengubah potensial membran depolarisasi atau hiperpolarisasi dan menimbulkan potensial kerja pada neuron pasca-sinapsis. Ketika impuls dari neuron pra-sinaps berhenti neurotransmitter yang telah ada akan didegradasi. Molekul terdegradasi tersebut kemudian masuk kembali ke ujung akson neuron pra-sinapsis melalui proses endositosis. Perkembangan [sunting sunting sumber] Dalam vertebrata, hal penting dalam perkembangan saraf embrionik meliputi kelahiran dan diferensiasi neuron dari sel punca, migrasi neuron yang belum matang dari tempat kelahiran mereka dalam embrio ke posisi akhir mereka, pertumbuhan akson dari neuron dan pengarahan growth cone motil melalui embrio menuju rekan postsinaptik, penghasilan sinaps di antara akson-akson ini dan rekan postsinaptik mereka, dan akhirnya perubahan seumur hidup dalam sinaps yang diduga mendasari pembelajaran dan ingatan.[55] Semua hewan bilateria pada tahap awal perkembangan membentuk sebuah gastrula yang terpolarisasi, dengan sebuah ujung yang disebut kutub hewan dan yang lain kutub vegetal. Gastrula memiliki bentuk cakram dengan 3 lapisan sel, lapisan terdalam disebut endoderm, yang membangkitkan dasar dari kebanyakan organ dalam, sebuah lapisan tengah yang disebut mesoderm, yang membangkitkan tulang dan otot, dan lapisan terluar yang disebut ektoderm, yang membangkitkan kulit dan sistem saraf.[56] Embrio manusia, menunjukkan lekukan saraf neural groove. Empat tahapan dalam perkembangan tabung saraf dalam embrio manusia. Dalam vertebrata, tanda pertama kemunculan sistem saraf adalah kemunculan sel tipis di sepanjang bagian tengah punggung yang disebut piringan saraf neural plate. Bagian dalam piringan saraf sepanjang garis tengah ditujukan untuk menjadi sistem saraf pusat SSP, dan bagian luar sistem saraf tepi SST. Sebagaimana perkembangan berlanjut, sebuah lipatan disebut lekukan saraf neural groove muncul di sepanjang garis tengah. Lipatan ini menjadi dalam dan kemudian menutup di atas. Pada titik ini SSP yang mendatang, tampak seperti struktur silindris yang disebut sebagai tabung saraf, tempat SST yang akan jadi tampak seperti 2 garis jaringan yang disebut puncak saraf neural crest, yang ada di atas tabung saraf. Rangkaian tahapan dari piringan saraf ke tabung saraf dan puncak saraf dikenal sebagai neurulasi. Pada awal abad 20, serangkaian percobaan terkenal oleh Hans Spemann dan Hilde Mangold menunjukkan bahwa pembentukan jaringan saraf “diinduksi” oleh sinyal dari sebuah kelompok mesodermal yang disebut “wilayah pengatur” organizer region.[55] Namun, selama beberapa dasawarsa, sifat proses induksi tidak dapat diketahui, sampai pada akhirnya hal ini terpecahkan melalui pendekatan genetic pada tahun 1990an. Induksi jaringan saraf memerlukan penghambatan gen yang disebut protein morfogenetik tulang bone morphogenetic protein, disingkat BMP. Secara khusus, protein BMP4 tampaknya terlibat. Dua protein yang disebut Noggin dan Chordin disekresikan oleh mesoderm tampaknya mampu menghambat BMP4 dan oleh karenanya menginduksi ektoderm untuk berubah menjadi jaringan saraf. Tampaknya sebuah mekanisme molekular yang sama terlibat dalam berbagai jenis hewan yang berbeda, termasuk artropoda dan juga vertebrata. Namun, dalam beberapa hewan, sebuah jenis molekul lain yang disebut faktor pertumbuhan fibroblas Fibroblast Growth Factor, disingkat FGF mungkin dapat berperan dalam induksi. Induksi jaringan neural menyebabkan pembentukan sel pendahulu saraf yang disebut neuroblas.[57] Dalam drosophila, neuroblas terbagi secara asimetris, sehingga 1 produk adalah sebuah “sel induk ganglion” ganglion mother cell, disingkat GMC, dan yang lain adalah sebauah neuroblas. Sebuah GMC terbagi sekali dan menghasilkan baik pasangan neuron atau pasangan sel glial. Secara keseluruhan, sebuah neuroblas mampu menghasilkan sejumlah neuron atau glia yang tak terbatas. Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian tahun 2008, sebuah faktor yang umum pada seluruh organisme bilateral termasuk manusia adalah kelompok molekul yang mensekresikan molekul pensinyalan yang disebut neurotrofin yang mengatur pertumbuhan dan kelangsungan hidup neuron.[58] Zhu et al. mengidentifikasi DNT1, neurotrofin pertama yang ditemukan pada lalat. Struktur DNT1 mirip dengan semua neurotrofin yang dikenal dan merupakan sebuah faktor penting dalam penentuan nasib neuron dalam Drosophila. Karena neurotrofin sekarang telah teridentifikasi dalam vertebrata dan invertebrata, bukti ini menunjukkan bahwa neurotrofin ada alam nenek moyang yang umum organisme bilateral dan mungkin mewakili sebuah mekanisme umum untuk pembentukan sistem saraf. Patologi [sunting sunting sumber] Sistem saraf Pusat SSP dilindungi oleh sawar barrier fisik dan kimia. Secara fisik, otak dan sumsum tulang belakang dikelilingi oleh membran meningeal yang kuat, dan dibungkus oleh tulang tengkorak dan vertebra tulang belakang, yang membentuk perlindungan fisik yang kuat. Secara kimia, otak dan sumsum tulang belakang terisolasi oleh yang disebut sawar darah-otak ”Blood-brain barrier”, yang mencegah kebanyakan jenis bahan kimia berpindah dari aliran darah kedalam bagian dalam SSP. Perlindungan ini membuat SSP kurang rentan bila dibandingkan dengan SST; namun, di sisi lain, kerusakan pada SSP cenderung lebih serius dampaknya. Walaupun saraf cenderung berada di bawah kulit kecuali di beberapa tempat, seperti saraf ulnar dekat dengan persambungan sendi siku, saraf-saraf ini cenderung terpapar kerusakan fisik, yang dapat menyebabkan rasa sakit, kehilangan sensasi rasa, atau kehilangan kontrol otot. Kerusakan pada saraf juga dapat disebabkan oleh pembengkakan atau memar di tempa saraf lewat di antara kanal tulang yang ketat, seperti terjadi pada sindrom lorong karpal. Jika sebuah saraf benar-benar terpotong, saraf akan beregenerasi, tetapi untuk saraf yang panjang, proses ini mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan untuk selesai. Sebagai tambahan pada kerusakan fisik neuropati periferal dapat disebabkan oleh masalah medis lain, termasuk kondisi genetik, kondisi metabolik seperti diabetes, kondisi peradangan seperti sindrom Guillain–Barré, defisiensi vitamin, penyakit infeksi seperti kusta atau herpes zoster, atau keracunan oleh racun seperti logam berat. Banyak kasus tidak memiliki penyebab yang dapat teridentifikasi, dan disebut idiopatik. Saraf juga dapat kehilangan fungsinya untuk sementara waktu, mengakibatkan ketiadaan rasa — penyebab umum meliputi tekanan mekanis, penurunan suhu, atau interaksi kimia dengan obat seperti lidokain. Kerusakan fisik pada sumsum tulang belakang mungkin berakibat pada kehilangan sensasi atau pergerakan. Jika sebuah kecelakaan pada tulang punggung menghasilkan sesuatu yang tidak parah dari pembengkakan, gejala hanya sementara, tetapi apabila serabut saraf di tulang belakang hancur, kehilangan fungsi biasanya menetap. Percobaan telah menunjukkan bahwa serabut saraf tulang belakang biasanya mencoba untuk tumbuh kembali dengan cara yang sama seperti serabut saraf, teapi dalam sumsum tulang belakang, kerusakan jaringan biasanya menghasilkan jaringan parut yang tidak dapat dipenetrasi oleh saraf yang tumbuh kembali. Referensi [sunting sunting sumber] ^ “Nervous System”. Columbia Encyclopedia. Columbia University Press. ^ a b c d e f Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 2 Nerve cells and behavior”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Finger S 2001. “Ch. 1 The brain in antiquity”. Origins of neuroscience a history of explorations into brain function. Oxford Univ. Press. ISBN 978-0-19-514694-3. ^ Finger, pp. 43–50 ^ a b Sakarya O, Armstrong KA, Adamska M; et al. 2007. Vosshall, Leslie, ed. “A post-synaptic scaffold at the origin of the animal kingdom”. PLoS ONE. 2 6 e506. doi PMC1876816 . PMID 17551586. ^ a b Ruppert EE, Fox RS, Barnes RD 2004. Invertebrate Zoology edisi ke-7. Brooks / Cole. hlm. 111–124. ISBN 0-03-025982-7. ^ a b Balavoine G 2003. “The segmented Urbilateria A testable scenario”. Int Comp Biology. 43 1 137–47. doi ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 4 The cytology of neurons”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ a b Allen NJ, Barres BA 2009. “Neuroscience Glia – more than just brain glue”. Nature. 457 7230 675–7. doi PMID 19194443. ^ Azevedo FA, Carvalho LR, Grinberg LT; et al. 2009. “Equal numbers of neuronal and nonneuronal cells make the human brain an isometrically scaled-up primate brain”. J. Comp. Neurol. 513 5 532–41. doi PMID 19226510. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 17 The anatomical organization of the central nervous system”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Standring, Susan Editor-in-chief 2005. Gray’s Anatomy edisi ke-39th. Elsevier Churchill Livingstone. hlm. 233–234. ISBN 978-0-443-07168-3. ^ Hubbard JI 1974. The peripheral nervous system. Plenum Press. hlm. vii. ISBN 978-0-306-30764-5. ^ Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, LaMantia A-S, McNamara JO, White LE 2008. Neuroscience. 4th ed. Sinauer Associates. hlm. 15–16. ^ “ganglion” di Dorland’s Medical Dictionary ^ Afifi AK 1994. “Basal ganglia functional anatomy and physiology. Part 1”. J. Child Neurol. 9 3 249–60. doi PMID 7930403. ^ Jacobs DK1, Nakanishi N, Yuan D; et al. 2007. “Evolution of sensory structures in basal metazoa”. Integr Comp Biol. 47 5 712–723. doi PMID 21669752. ^ Sanes DH, Reh TA, Harris WA 2006. Development of the nervous system. Academic Press. hlm. 3–4. ISBN 978-0-12-618621-5. ^ Ghysen A 2003. “The origin and evolution of the nervous system”. Int. J. Dev. Biol. 47 7–8 555–62. PMID 14756331. ^ Erwin DH, Davidson EH 2002. “The last common bilaterian ancestor”. Development. 129 13 3021–32. PMID 12070079. ^ Bourlat SJ, Juliusdottir T, Lowe CJ; et al. 2006. “Deuterostome phylogeny reveals monophyletic chordates and the new phylum Xenoturbellida”. Nature. 444 7115 85–8. doi PMID 17051155. ^ Lichtneckert R, Reichert H 2005. “Insights into the urbilaterian brain conserved genetic patterning mechanisms in insect and vertebrate brain development”. Heredity. 94 5 465–77. doi PMID 15770230. ^ Chapman RF 1998. “Ch. 20 Nervous system”. The insects structure and function. Cambridge University Press. hlm. 533–568. ISBN 978-0-521-57890-5. ^ Chapman, hal. 546 ^ a b Hoyle G, Wiersma CAG 1977. Identified neurons and behavior of arthropods. Plenum Press. ISBN 978-0-306-31001-0. ^ “Wormbook Specification of the nervous system”. ^ Stein PSG 1999. Neurons, Networks, and Motor Behavior. MIT Press. hlm. 38–44. ISBN 978-0-262-69227-4. ^ Stein, hal. 112 ^ Simmons PJ, Young D 1999. Nerve cells and animal behaviour. Cambridge University Press. hlm. 43. ISBN 978-0-521-62726-9. ^ Gray PO 2006. Psychology edisi ke-5. Macmillan. hlm. 170. ISBN 978-0-7167-7690-1. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 9 Propagated signaling the action potential”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Hormuzdi SG, Filippov MA, Mitropoulou G; et al. 2004. “Electrical synapses a dynamic signaling system that shapes the activity of neuronal networks”. Biochim. Biophys. Acta. 1662 1–2 113–37. doi PMID 15033583. ^ a b c Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 10 Overview of synaptic transmission”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 11 Signaling at the nerve-muscle synapse”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 15 Neurotransmitters”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Strata P, Harvey R 1999. “Dale’s principle”. Brain Res. Bull. 50 5–6 349–50. doi PMID 10643431. ^ Marty A, Llano I 2005. “Excitatory effects of GABA in established brain networks”. Trends Neurosci. 28 6 284–9. doi PMID 15927683. ^ Paradiso MA; Bear MF; Connors BW 2007. Neuroscience Exploring the Brain. Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 718. ISBN 0-7817-6003-8. ^ a b Cooke SF, Bliss TV 2006. “Plasticity in the human central nervous system”. Brain. 129 Pt 7 1659–73. doi PMID 16672292. ^ Bliss TV, Collingridge GL 1993. “A synaptic model of memory long-term potentiation in the hippocampus”. Nature. 361 6407 31–9. doi PMID 8421494. ^ Kauer JA, Malenka RC 2007. “Synaptic plasticity and addiction”. Nat. Rev. Neurosci. 8 11 844–58. doi PMID 17948030. ^ a b c Dayan P, Abbott LF 2005. Theoretical Neuroscience Computational and Mathematical Modeling of Neural Systems. MIT Press. ISBN 978-0-262-54185-5. ^ McCulloch WS, Pitts W 1943. “A logical calculus of the ideas immanent in nervous activity”. Bull. Math. Biophys. 5 4 115–133. doi ^ a b Sherrington CS 1906. The Integrative Action of the Nervous System. Scribner. ^ Descartes R 1989. Passions of the Soul. Voss S. Hackett. ISBN 978-0-87220-035-7. ^ Baum WM 2005. Understanding behaviorism Behavior, Culture and Evolution. Blackwell. ISBN 978-1-4051-1262-8. ^ Piccolino M 2002. “Fifty years of the Hodgkin-Huxley era”. Trends Neurosci. 25 11 552–3. doi PMID 12392928. ^ Johnston D, Wu SM 1995. Foundations of cellular neurophysiology. MIT Press. ISBN 978-0-262-10053-3. ^ Simmons PJ, Young D 1999. “Ch 1. Introduction”. Nerve cells and animal behaviour. Cambridge Univ. Press. ISBN 978-0-521-62726-9. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 36 Spinal reflexes”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 38 Voluntary movement”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 39 The control of gaze”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 21 Coding of sensory information”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 25 Constructing the visual image”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 52 The induction and patterning of the nervous system”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Sanes DH, Reh TH, Harris WA 2006. “Ch. 1, Neural induction“. Development of the Nervous System. Elsevier Academic Press. ISBN 978-0-12-618621-5. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. 2000. “Ch. 53 The formation and survival of nerve cells”. Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1. ^ Zhu B, Pennack JA, McQuilton P, Forero MG, Mizuguchi K, Sutcliffe B, Gu CJ, Fenton JC, Hidalgo A 2008. Bate, Michael, ed. “Drosophila neurotrophins reveal a common mechanism for nervous system formation”. PLoS Biol. 6 11 e284. doi PMC2586362 . PMID 19018662. Pranala luar [sunting sunting sumber] The Human Brain Project Homepage Diarsipkan 2017-07-08 di Wayback Machine.

Pemberiannutrisi pada sel saraf terjadi melalui A. Dendrit B. Neurit C. Sinapsis D. Sel schwann E. Nodus ranvier . Ujian Semester 2 (UAS / UKK) Biologi SMA Kelas 11 Kesehatan saluran cerna dipupuk semenjak masa janin melalui nutrisi dari ibu. Nutrisi ini menjadi bekal si kecil untuk tumbuh kembangnya. Pasca kelahiran, nutrisi yang tepat tidak hanya membantu proses tumbuh-kembang, tetapi juga membantu untuk menjaga fungsi dan mekanisme tubuh, salah satunya adalah kesehatan saluran cerna. Bahan makanan pertama dan utama sejak bayi lahir adalah air susu ibu ASI, yang merupakan salah satu makanan yang menunjang kesehatan saluran pencernaan. ASI memiliki kandungan serat pangan oligosakarida, bakteri baik yang menjaga kesehatan saluran pencernaan, serta mencegah infeksi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Saptawati BardosonoHAL133Dokter Saptawati, atau akrab dipanggil Dokter Tati’ adalah seorang pakar di bidang gizi medis medical nutrition yang meraih gelar Doktor di Universitas Indonesia pada tahun 2003. Ibu dari 3 orang anak dan nenek dari 2 orang cucu ini sangat produktif dalam menerbitkan buku populer di bidang nutrisi, di antaranya buku berjudul 50 Tanya Jawab Seputar Kehamilan yang diterbitkan pada tahun 2010. Di luar karier akademiknya sebagai seorang dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, beliau juga aktif berorganisasi dan menjadi salah satu pendiri dari Indonesian Nutrition Association INA. Sampai dengan saat ini beliau aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan pelayanan masyarakat untuk mendukung “Nutrisi Sejak Awal dan di Sepanjang Siklus Kehidupan Manusia” dan melakukan berbagai penelitian serta menghasilkan lebih dari 30 karya ilmiah yang telah dipublikasikan baik dalam kongres maupun jurnal-jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional. 7PERAN NUTRISI DALAM TUMBUH KEMBANGDAN KESEHATAN SALURAN CERNASaptawati Bardosono HAL135Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran Cernagizi dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan karena itu, nutrisi ibu selama kehamilan merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap perkembangan janin dan berdampak pada kesehatannya di masa mendatang. Ibu hamil dianjurkan untuk mengonsumsi tambahan energi sebanyak 300 kalori yang setara dengan dua porsi nasi. Selain itu, ibu hamil diminta untuk melengkapinya dengan lauk-pauk hewani maupun nabati sebagai sumber protein dan lemak, sayuran terutama yang daunnya berwarna hijau tua sebagai sumber vitamin B, asam folat, zat besi serta kalsium, buah yang berwarna kuning, oranye, dan merah sebagai sumber vitamin A dan C, serta mengonsumsi susu atau produk susu dan kacang-kacangan sebagai sumber berat badan ibu selama kehamilan disarankan pada kisaran 5-18 kg, tergantung pada berat badan ibu sesuai dengan Indeks Massa Tubuh IMT sebelum kehamilan, karena kenaikan yang berlebihan maupun kekurangan akan meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, begitu pula pada janin Tabel Kenaikan berat badan berlebih dikaitkan dengan diabetes masa kehamilan, hipertensi, preeklampsia, dan kesulitan persalinan, sementara rendahnya kenaikan berat badan berhubungan dengan bayi lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah BBLR serta kesulitan perawatan yang menyertainya. Kesehatan saluran cerna dipupuk semenjak masa janin melalui nutrisi dari ibu. Nutrisi ini menjadi bekal si kecil untuk tumbuh kembangnya. Pasca kelahiran, nutrisi yang tepat tidak hanya membantu proses tumbuh-kembang, tetapi juga membantu untuk menjaga fungsi dan mekanisme tubuh, salah satunya adalah kesehatan saluran cerna. Bahan makanan pertama dan utama sejak bayi lahir adalah air susu ibu ASI, yang merupakan salah satu makanan yang menunjang kesehatan saluran pencernaan. ASI memiliki kandungan serat pangan oligosakarida, bakteri baik yang menjaga kesehatan saluran pencernaan, serta mencegah yang Tepat DiperlukanSejak Masa KonsepsiAsupan nutrisi sejak masa janin diperoleh secara pasif dari ibu melalui plasenta dan tali pusat. Segera setelah lahir, bayi dianjurkan memperoleh nutrisi dari ASI melalui program Inisiasi Menyusu Dini IMD, dilanjutkan dengan nutrisi dari ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupan melalui praktek pemberian ASI eksklusif. Nutrisi dari ASI tetap diberikan sampai usia anak 24 bulan yang harus disertai dengan pemberian makanan pendamping ASI MP-ASI secara bertahap baik dalam kualitas, kuantitas, maupun jadwal setelah usia 6 bulan. Setelah usia dua tahun diharapkan anak mendapatkan asupan nutrisi dari makanan sehari-harinya yang lengkap PERAN NUTRISI DALAM TUMBUH KEMBANGDAN KESEHATAN SALURAN CERNA HAL136Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang Sehatpada ibu hamil juga memiliki dampak besar bagi kesehatan janin dan anak di masa depan, termasuk saat mereka tumbuh penelitian di berbagai negara yang mengaitkan BBLR dengan meningkatnya risiko masalah kesehatan saat mencapai usia dewasa, misalnya diabetes melitus tipe-2, sindrom metabolik kegemukan, tekanan darah tinggi, tingginya kadar gula darah dan lemak darah, penyakit paru kronis, osteoporosis dan gangguan mental Gambar Sehubungan dengan pengetahuan tentang dampak masalah Dahulu, kenaikan berat badan ibu berlebihan semasa kehamilan lebih ditakuti daripada kenaikan berat badan yang kurang, namun ternyata kekurangan gizi IMT sebelum hamilBerat Badan kgTinggi Badan m2Status Gizisebelum hamilRekomendasikenaikan beratbadan kg< - - 167 - - 9Rekomendasi kenaikan berat badan selama kehamilan Sumber Institute of Medicine 2009, Weight Gain During Pregnancy Re-examining the guidelinesTabel ganda selama masa kehamilan kelebihan atau kurang gizi, maka ibu hamil dianjurkan untuk mendapatkan asupan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang tepat agar tidak berisiko melahirkan BBLR dengan berbagai dampaknya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Fall C. Maternal nutrition Effects on health in the next J Med Res 2009;130539-99Type 2 diabetes and CHDHyperlipidaemiaHypertensionCentralobesityCortisolMaternal diet Uteroplacentalblood owPlacentaltransferFoetalgenomeInsulin/IGF-1secretion andsensitivityBrain sparing Downregulationof growthEarlymaturationAltered bodycompositionImpaireddevelopmentblood vessels, liver,kidneys, pancreasMuscleInsulinresistanceNutrient demand exceeds supplyFOETAL UNDERNUTRITIONKekurangan gizi selama masa kehamilan merupakan salah satu faktor yang berdampak pada kesehatan janin di masa mendatang the developmental origins of health and disease = DOHaDFall C. Maternal nutrition Effects on health in the next generation. Indian J Med Res 2009;130539-99Gambar HAL137Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaPasca kelahiran, seluruh komponen nutrisi yang diperlukan bayi dapat dipenuhi dari ASI, yang didapatkan seluruhnya melalui saluran cerna. Saat lahir, saluran cerna bayi akan terpapar dengan berbagai jenis bakteri. Bayi yang lahir pervaginam akan terkolonisasi dengan bakteri ibunya, sementara bayi yang lahir melalui operasi Caesar akan terpapar oleh bakteri dari lingkungan, yaitu dari udara, bayi lain, atau petugas kesehatan. Perlu diperhatikan bahwa saat lahir saluran cerna bayi secara fungsional masih imatur dan belum memiliki sistem imun. Selaput lendir saluran cerna masih permeabel dan hubungan antar sel mukosa masih terbuka, sehingga memudahkan kuman patogen dan protein untuk masuk dan meningkatkan risiko terjadinya enterokolitis nekrotikans, diare, dan alergi. Dalam perkembangannya, saluran cerna tersebut akan mengalami pertumbuhan dan maturasi, namun memerlukan waktu beberapa minggu sebelum hubungan antar sel mukosa itu tertutup Gambar Flora dalam saluran cerna bayi juga akan berubah selama enam bulan pertama kehidupannya sesuai pola pemberian nutrisi. Dalam enam minggu pertama kehidupan bayi yang mendapat ASI, pH saluran cernanya bersifat asam sehingga didominasi oleh bidobakteria dan sedikit bakteri patogen. Sementara pH saluran cerna bayi yang mendapat susu formula lebih tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan banyak bakteri patogen. Organisme utama yang dibutuhkan untuk melindungi saluran cerna yang imatur dan membantu membuatnya matur adalah bidobakteria. Bosco ML. The effect of breast-milk on newborn gut Health Education Inc. 2009Proses maturasi terjadi lebih cepat pada bayi yang mendapat ASI dibanding dengan yang mendapat susu formula, karena kolostrum pada ASI akan melindungi saluran cerna dan berperan sebagai imunitas pasif. Komponen sistem imun berupa IgA dari ibu melalui ASI merupakan antibodi khusus yang mempunyai sasaran kuman patogen bayi melalui jalur enteromamari. Selain itu, ASI juga mengandung strain bakteri baik seperti bidobakteri dan lactobacilli Martin R. Isolation of Bidobacteria from breast milk and eassessment of the bidobacterial population by PCR-denaturing gradient gel electrophoresis and quantitative real-time PCR. Appl Environ Microbiol. 2009. 754965. Sinkiewicz, G. Occurrence of Lactobacillus reuteri in human breast milk. Microb Ecol Health D. 2008. 20122-126 yang mendukung perlindungan saluran cerna lihat BAB 3 Imunitas pada Saluran Cerna. HAL138Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatPeriode Sensitif untuk PerkembanganMasa setelah lahir hingga 2 tahun pertama kehidupan adalah periode kritis dan sensitif untuk perkembangan. Periode kritis adalah suatu fase dalam masa kehidupan ketika sensitivitas terhadap pengaruh lingkungan meningkat yang dibutuhkan untuk perkembangan keterampilan tertentu. Apabila periode kritis terlewat, maka keterampilan khusus tersebut akan sulit untuk dicapai. Adapun periode sensitif memiliki waktu lebih panjang dalam perkembangan anak. Dalam periode ini, individu lebih mudah menerima rangsang dari lingkungan yang berkaitan dengan fase pertumbuhan otak. Gambar berikut menunjukkan bahwa masa konsepsi sampai dengan dua tahun pertama kehidupan adalah periode sensitif untuk perkembangan Gambar Dalam periode sensitif ini terdapat suatu bagian penting yaitu periode kritis. Contoh periode kritis antara lain adalah perkembangan penglihatan binokular saat bayi berusia 3-8 bulan dimana periode sensitif untuk terjadinya gangguan adalah sejak lahir hingga usia 3 tahun. Pengetahuan tentang periode kritis dalam perkembangan anak dapat membantu upaya untuk melindungi anak dari efek pengaruh negatif 280 d 52 w10-20 wPig 115 d 12 w3-6 wRat 22 d 5 w18-22 dBirth MaturityWaktu yang dibutuhkan untuk maturasi saluran cerna pada berbagai spesies Sangild, PT. Gut responses to enteral nutrition in preterm infants and animals. Exp Biol Med Maywood. 2006. 231111695-711Gambar HAL139Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaSaluran Cerna Berfungsi Penting untuk Menyerap NutrisiFungsi utama saluran cerna ialah memecah dan menyerap komponen makanan. Kegagalan tubuh untuk memecah dan menyerap nutrisi akan berakibat pada tidak optimalnya pemenuhan kebutuhan nutrisi. Bila terjadi gangguan fungsi saluran cerna, maka tubuh akan kekurangan asupan zat gizi esensial, yaitu yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan harus diperoleh dari makanan dan minuman. Gangguan fungsi saluran cerna antara lain adalah maldigesti dan malabsorpsi. Yang dimaksud dengan maldigesti adalah gangguan dalam memecah zat gizi dari makanan misalnya karbohidrat untuk menjadi mono-, di-, atau oligosakarida, protein untuk menjadi asam amino dan oligopeptida, dan lemak untuk menjadi asam lemak dan monogliserida. Malabsorpsi adalah ketidakmampuan mukosa saluran cerna untuk mengambil dan menyerap zat gizi yang telah dicerna, baik dari golongan karbohidrat, protein, dan lemak, maupun vitamin dan mineral. Ganguan pencernaan akan mengakibatkan gangguan fungsi tubuh normal dan meningkatkan risiko terjadinya berbagai masalah kesehatan. WGO practice guideline, diunduh dari tanggal 24 November 2012.Maturity of the entire brainTelencephalonDiencephalonRhombencephalon including cerebellumDays afterconception000 200 300 400 500 600 700 800 900 1, rate of the degree of maturityBirthYears afterconceptionKecepatan pertumbuhan otak berdasarkan bagian otak selama perkembangan prenatal dan postnatal dalam hari dan tahun setelah terjadinya konsepsi Rice D and Barone S. Critical periods of vulnerability for the developing nervous system Evidence from humans and animal Health Perspect 2000;1083511-533 Gambar HAL140Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatPerkembangan tidak lepas dari faktor genetik dan epigenetik yang dimiliki seseorang. Epigenetik merupakan hasil dari perubahan ekspresi gen jangka panjang sejak awal kehidupan terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Perubahan ekspresi gen ini secara potensial mengarah ke penyakit di usia selanjutnya, atau yang dikenal dengan the Developmental Origin of Health and Disease DOHaD. Berbeda dengan faktor genetik yang bersifat stabil dan menetap, maka epigenetik bersifat tidak menetap dan dapat merespons rangsang yang diterima, baik yang berasal dari tubuh endogen maupun yang berasal dari lingkungan eksogen. Salah satu faktor eksogen yang dapat memicu perubahan epigenetik ini adalah zat gizi atau nutrisi dari makanan-minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Gabory A, Attig L, and Junien C. Epigenetic mechanisms involved in developmental yang keduanya akan berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain berpengaruh pada pertumbuhan sik, nutrisi juga berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan, performa sekolah, produktivitas kerja, dan secara tidak disadari berdampak pada seluruh aspek perkembangan individu dan sosial Gambar Uauy R and Hertrampf E. Nutritional deciencies and of Life Support System [EOLSS].Dampak Nutrisi yang Tidak SeimbangNutrisi adalah faktor utama yang memengaruhi perkembangan manusia, tidak saja sebagai faktor penentu status kesehatan, namun juga sebagai penentu kualitas hidup manusia selama keseluruhan siklus kehidupan dan perkembangannya. Apabila terjadi ketidakseimbangan nutrisi maka akan terjadi salah gizi malnutrisi, berupa gizi kurang atau gizi lebih, Adapted from Levitsky & Barnes 1972 and Pollit 1993PhysicalgrwothNutritionalStatusCaregiverbehavior, parent-child interactionBraindevelopment andfunctionLevel of childinteraction with theenvironmentCognitive, motor, andsocio-emotionaldevelopmentPhysicalactivityIllnessMekanisme potensial terkait efek kurang gizi terhadap perkembangan kognitif, motorik dan sosio-emosional anak Elizabeth Prado and Kathryn Dewey A&T Technical Brief Issue 4 January 2012Gambar HAL141Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran Cernanutrition programming. World J Diabetes. 2011;210164-175.Nutrisi dapat mengubah status epigenetik seseorang, apakah melalui epigenetik orangtua yang diturunkan dan langsung memengaruhi pola epigenetik anaknya saat janin, atau bermanifestasi kemudian di sepanjang siklus kehidupan individu, terutama pada periode yang sensitif akan perubahan epigenetik segera setelah lahir atau masa pra-pubertas. Ketika pola epigenetik terbentuk, risiko terjadinya berbagai penyakit dapat meningkat. Mekanisme epigenetik yaitu metilasi DNA dan modikasi histon melalui metilasi dan asetilasi, akan membentuk kongurasi kromatin yang dapat meningkatkan atau menekan ekspresi gen. Struktur kromatin tersebut walaupun jelas dan stabil, bersifat tidak menetap dan masih bisa dipengaruhi oleh nutrisi. Dengan demikian, meski bayi telah lahir dengan pola epigenetik tertentu, intervensi nutrisi masih dapat dilakukan untuk mengubah pola epigenetik tersebut sehingga dapat memperbaiki status Nutrisi Dapat Memengaruhi Mikroora Saluran CernaSebagaimana telah dibahas sebelumnya, perkembangan mikroora saluran cerna bayi diawali dengan sterilnya saluran cerna pada masa janin. Saat lahir, saluran cerna akan terpapar mikroora lingkungan termasuk dari ASI dan/atau susu formula. Fanaro S. Intestinal microora in early infancy composition and development. Acta Pediatr Suppl 2003;44148-55. Zat gizi tertentu dibutuhkan untuk dapat memengaruhi mikroora saluran cerna dibutuhkan zat gizi tertentu. Karbohidrat, misalnya fruktooligosakarida, galaktooligosakarida dan laktulosa merupakan prebiotik yang dapat memodulasi aktivitas ora saluran cerna. Berbagai bahan makanan yang memengaruhi saluran cerna khususnya dan kesehatan pada umumnya, dapat digolongkan dalam kelompok pangan fungsional. ISAAP meeting. Report from the intestinal microora and dietary modulation working group, 2002.Pangan FungsionalMeskipun belum ada denisi yang baku untuk istilah pangan fungsional, namun berdasarkan American Dietetic Association ADA, pangan fungsional adalah makanan yang selain memiliki kandungan zat gizi, juga memberikan manfaat tambahan terhadap kesehatan, yaitu dapat membantu mencegah risiko penyakit dan/atau mendukung kesehatan tubuh secara optimal. Makanan dan komponen yang terkandung dalam makanan, seperti buah dan sayur, gandum utuh serta serat yang terkandung dalam roti dan serealia tertentu, kalsium dalam susu, makanan dan minuman yang diperkaya antara lain vitamin D dalam susu, dan suplemen makanan dapat digolongkan sebagai pangan fungsional Tabel HAL142Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatKomponen Aktif Bahan Pangan Manfaat PotensialBeta-karotenSerat tak larutKalsiumInulin, fructo-oligo-saccharida FOSProtein kedelaiSerat larutAsam lemak omega-3 ALAAsam lemak omega-3 EPA/DHASeleniumProbiotik – laktobasilus dan bidobakteriaWortel, labu kuning, ketela, bayam, tomat dan lainnyaInti gandum, inti jagung, dan kulit buahIkan salmon, tuna dan minyak ikanIkan, daging merah, gandum utuh, bawang putih, hati dan telurIkan sardine, bayam, yogurt, produk susu rendah lemak, makanan dan minuman yang diperkayaGandum utuh, bawang merah, bawang putih, madu, pisang, makanan dan minuman yang diperkayaYogurt tertentu dan produk susu atau non-susu yang diperkayaKedelai dan produknya seperti yogurt, susu, tahu dan tempeMenurunkan risiko penyakit jantung koroner, dan mendukung pemeliharaan kesehatan mata dan fungsi mentalMenetralkan radikal bebas, mendukung pemeliharaan kekebalan tubuh dan kesehatan prostatMendukung pemeliharaan kesehatan saluran cerna, mendukung penyerapan kalsiumMendukung pemeliharaan kesehatan saluran cerna dan kekebalan tubuhMenurunkan risiko penyakit jantung koronerMenurunkan risiko osteoporosisPsilium, polong, kacang, apel dan jerukWalnuts, axseed, axseed oilMenetralkan radikal bebas, mendukung pembentukan antioksidan tubuh, dan membentuk vitamin A tubuhMendukung kesehatan saluran cerna, menurunkan risiko beberapa jenis kankerMendukung pemeliharaan kesehatan jantung dan mata serta fungsi mentalMenurunkan risiko penyakit jantung koroner dan beberapa jenis kanker Contoh pangan fungsional Diambil dari HAL143Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaAda beberapa konsep penting tentang pangan fungsional, yaitu 1 merupakan bahan pangan secara utuh maupun bahan pangan yang difortikasi, diperkaya atau diproses lebih lanjut; 2 pangan fungsional harus dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehari-hari dengan jumlah efektif agar dapat memberikan manfaat bagi kesehatan; dan 3 semua bahan pangan adalah fungsional pada tingkat siologis tertentu. Beberapa pangan fungsional yang dapat memberikan manfaat untuk kesehatan saluran cerna adalah probiotik dan prebiotik. Prebiotik merupakan komponen bahan pangan yang dapat mendukung pertumbuhan probiotik, seperti serat pangan inulin atau Frukto-Oligo-Sakarida FOS. Adapun probiotik adalah komposisi dalam bahan makanan yang merupakan mikroorganisme hidup dan bila dikonsumsi dalam jumlah tertentu akan memberi manfaat bagi tubuh. Konsumsi probiotik dapat membantu menyeimbangkan ora usus dengan cara meningkatkan pertumbuhan ora usus yang menguntungkan kesehatan saluran cerna dan menurunkan atau membatasi pertumbuhan ora usus yang membahayakan kesehatan saluran cerna mikroorganisme patogen. Probiotik dapat memodikasi respons imun saluran cerna, memperbaiki fungsi pertahanan dinding saluran cerna, dan memodulasi atau menyesuaikan aktivitas sistem imun tubuh, sehingga dapat membantu mengontrol atau menurunkan terjadinya berbagai reaksi alergi. Efek probiotik bersifat spesik dan bergantung pada strain atau galur-nya. Salah satu strain probiotik adalah Lactobacillus reuteri. Lactobacillus reuteri merupakan probiotik yang secara alami terdapat dalam ASI Sinkiewicz, G. Occurrence of L. reuteri in human breast milk, 2008. Dari berbagai penelitian telah terbukti bahwa L. reuteri- Merupakan spesies bakteri simbiotik yang dapat diadaptasi dengan baik untuk membentuk koloni dalam saluran cerna;- Memiliki kemampuan untuk menghasilkan dan mensekresi zat perantara metabolik yang berperan sebagai antagonis bakteri patogen;- Terbukti dapat mengurangi lama terjadinya diare akut pada anak sampai 1 hari, terutama yang disebabkan olehrotavirus;- Terbukti dapat mengurangi keluhan kembung dan kolik pada bayi denganIrritable Bowel Syndrome IBS;- Dapat menekan infeksi dan mengurangi gejala dispesia lambung;- Mempertahankan kesehatan gigi-mulut dan mencegah terjadinya kerusakan gigi dan infeksi pada gusi.Sinkiewicz, G 2010. Lactobacillus reuteriin health and disease. PhD. Thesis. Malmo University. Sweden Saluran cerna, terutama di usus besar, merupakan lokasi kolonisasi untuk lebih dari 1014 mikroba dengan lebih dari 1000 jenis bakteri yang berbeda Gambar 1357911131517161412108642HAL144Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatSebenarnya, saat bayi dilahirkan, saluran cerna masih berada dalam kondisi steril, dan kolonisasi bakteri mulai terjadi selama proses kelahirannya, yaitu berasal dari feses ibu atau ora vagina ibu dan/atau dari lingkungannya. Oleh karena itu, saat bayi baru lahir, jumlah dan jenis bakteri di usus besar masih sedikit. Berbagai jenis bakteri selanjutnya akan diperoleh sesuai pola makan bayi. ASI, selain mengandung zat gizi yang lengkap, juga menginduksi perubahan pola dan jumlah kolonisasi probiotik dalam usus gut microbiota form a diverse and dynamic ecosystem, including bacteria, Archaea and Eukarya that have adapted to live on the intestinal mucosal surface or within the gut lumenHarbor very low numbers of microorganisms < 103 bacterial cells per gram of contentsMainly lactobacilli and streptococciAcid, bile, and pancreatic secretions suppress most ingested microbesPhasic propulsive motor activity impedes stable colonization of the lumenNumbers of bacteria progressively increase from approximately 104 cells in the jejunum to 107 cells per gram of contents in the distal ileumStomach and duodenumJejunum and ileumLarge intestineHeavily populated by anaerobes 1012 cells per gram of luminal contents1. Mouth2. Pharynx3. Tounge4. Esophagus5. Pancreas6. Stomach7. Liver8. Transverse Colon9. Gallbladder10. Descending Colon11. Duodenum12. Jejunum13. Ascending Colon14. Sigmoid Colon15. Ileum16. Rectum17. AnusPerubahan dinamis bakteri di dalam saluran cerna World Gastroenterology Organisation practice guideline Probiotics and prebiotics. Arab J Gastro. 101 33-42Gambar HAL145Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaBerbagai bakteri di usus akan melakukan aktivitas metabolik dan fermentasi sehingga menghasilkan produk akhir yang mempunyai efek, baik yang menguntungkan maupun merugikan kesehatan. Efek menguntungkan yang diperoleh antara lain adalah stimulasi kekebalan tubuh, perbaikan proses pencernaan dan penyerapan zat gizi, sintesis vitamin, inhibisi pertumbuhan bakteri patogen, menurunkan kadar kolesterol, dan berkurangnya penumpukan gas. Adapun dampak bakteri yang merugikan antara lain adalah produksi karsinogen penyebab kanker, putrefaksi usus, produksi toksin, terjadinya diare ataupun konstipasi, kerusakan hati, dan infeksi usus. Dua jenis probiotik, yaitu bidobakteria dan laktobasilus mempunyai beberapa efek yang menguntungkan kesehatan, antara lain membantu pencernaan laktosa pada mereka yang mengalami intoleransi laktosa, mengurangi konstipasi dan diare infantil, membantu pertahanan tubuh terhadap infeksi, dan mengurangi kondisi inamasi dalam saluran terjadinya efek yang menguntungkan kesehatan tersebut masih belum sepenuhnya dimengerti. Berbagai faktor yang terlibat, misalnya kondisi keasaman saluran cerna pH, ketersediaan zat gizi, potensi reaksi redoks dalam jaringan, usia, status kesehatan, adhesi bakteri, kooperasi bakteri, sekresi musin lendir yang mengandung immunoglobulin, antagonis bakteri, dan waktu transit, diperkirakan dapat memengaruhi jenis dan jumlah mikrobiota yang ada di berbagai lokasi saluran cerna. Asidikasi pengasaman lingkungan usus oleh probiotik dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan produksi toksin seperti amonia dan amin. Pada lingkungan dengan berbagai jenis mikroba, fermentasi karbohidrat akan menghasilkan asam lemak rantai pendek, misalnya butirat, yang dikenal dapat menghambat sintesis DNA dan merangsang terjadinya apoptosis. Kondisi tersebut dapat berperan penting dalam mencegah terjadinya kanker di saluran cerna. Selain itu, fermentasi karbohidrat dan produksi asam lemak rantai pendek secara bermakna dapat meningkatkan penyerapan kalsium, magnesium dan fosfor. Selain itu, ternyata beberapa jenis mikrobiota usus juga dapat menghasilkan vitamin dan mineral bagi makanan juga dapat memengaruhi mikroora saluran cerna. Beberapa jenis makanan dapat meningkatkan kenyamanan saluran cerna. terdapat pula jenis-jenis makanan yang dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan, seperti makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan patogen lingkungan atau jenis makanan tertentu terutama dikonsumsi oleh populasi negara Barat. HAL146Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatHidangan yang biasa dikonsumsi populasi Barat, seperti roti, pasta, pizza, donat, kraker, kue, atau hidangan yang dipanggang, dapat menimbulkan masalah pencernaan terutama terkait dengan kandungan karbohidratnya gluten, fruktan, fruktosa, laktosa, galaktan, Saat anak mengalami masalah saluran cerna, terdapat beberapa makanan yang dapat dikonsumsi untuk dapat membantu mengatasi gangguan tersebut. Sebagai contoh, bila anak mengalami peningkatan produksi asam lambung, dapat diberikan roti lembut yang dibakar toast tanpa olesan apapun. Air putih atau teh bening diberikan dengan suhu sejuk atau hangat untuk mencegah dehidrasi. Pada gangguan berupa peningkatan asam lambung, sebaiknya hindari makanan yang mengandung banyak lemak, garam, gula, atau makanan pedas. Rasa mual-muntah dapat diatasi dengan konsumsi minuman herbal yang diberi jahe, chamomile, mint, madu, dan prebiotik. Adapun gejala konstipasi atau diare dapat diringankan dengan mengonsumsi axseeds biji rami, yaitu dengan menaburkan gilingan halusnya pada hidangan sereal, yogurt atau salad sayuran. Nutrisi untuk Perkembangan Jaringan Tubuh OtakAnak mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, yang merupakan dua hal yang berbeda tetapi berjalan bersama-sama dan saling terkait. Pertumbuhan adalah proses bertambahnya tinggi TB dan berat badan BB. Perkembangan adalah proses perubahan atau maturitas fungsi organ tubuh sehingga mencapai fungsi optimal saat dewasa. Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Seiring dengan bertambahnya usia anak, terjadi pertambahan BB dan TB. Selama dua tahun pertama kehidupan terjadi pertumbuhan yang cepat Gambar Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah faktor nutrisi, sehingga dibutuhkan nutrisi yang lengkap dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Asupan energi yang berasal dari sumber karbohidrat, lemak dan protein sangat dibutuhkan agar BB anak bertambah sesuai dengan kurva pertumbuhan normal. Beberapa zat gizi akan membantu metabolisme energi dalam tubuh, yaitu vitamin B1, B2 dan B6, dan beberapa zat gizi lainnya dapat mencegah terjadinya infeksi dan gangguan selaput lendir saluran cerna, yaitu vitamin A dan vitamin C. Kalsium dan vitamin D diperlukan untuk proses penulangan pertumbuhan episis pada tulang panjang. HAL147Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaAge in Years2047 12032 8063 16024 6055 14039 10071 1804 6 148 1610 1812 20a Distance CurveBoysGirlsAverage Height in InchesAverage Height in CentimetersAge in Years208 204 1012 302 510 256 154 6 148 1610 1812 20b Velocity CurveBoysGirlsGrowth SpurtsAverage Inches of Growth per YearAverage Centimeters of Growth per YearPercepatan dan kecepatan peningkatan tinggi badan anak dengan bertambahnya usia anak Anthropologischer Anzeiger 2012;692159–174Gambar otak berjalan cepat dimulai sejak konsepsi sampai tiga tahun pertama kehidupan. Perkembangan otak sangat peka atau sensitif akan pengaruh 18-24prenataldaysHUMAN BRAIN DEVELOPMENTMasa perkembangan otak bayi-anak Grantham-McGregor, S. [2007]. Developmental potential in the rst 5 years for children in developing countries. The Lancet. 369 60-70Gambar Gambar di bawah ini menggambarkan perkembangan otak anak manusia Gambar Age YearsGood Iron/Low RiskGood Iron/High RiskChronic Iron Decient/Low RiskChronic Iron Decient/High RiskCognitive Scores10958010085105901101 133 9 153 11 17 19HAL148Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatBerbagai nutrisi dapat memengaruhi fungsi otak dan visual, seperti zat besi, yodium, DHA, AA. Zat besi telah lama diketahui sangat penting perannya dalam membentuk sel darah merah yang berfungsi untuk transpor oksigen ke seluruh tubuh termasuk ke otak. Selain itu, zat besi juga berperan dalam proses neurogenesis hipokampus, striatum, dan mielin dan proses neurokimia melalui jalur monoaminergik dopamin dan norepinefrin. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa Anemia Desiensi Besi ADB pada masa bayi merupakan prediktor kuat untuk terjadinya gangguan perkembangan kognitif, motorik, dan sosio-emosional anak Gambar Yodium merupakan mineral yang dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid, yang sangat esensial dalam perkembangan sistem saraf pusat. Kurang yodium sebelum dan selama masa kehamilan akan menyebabkan berkurangnya produksi hormon tiroid pada ibu dan terjadinya kretinisme kerdil pada anak yang dilahirkan, yang ditandai dengan adanya retardasi mental, bisu-tuli, deformitas wajah, dan postur tubuh yang pendek stunted.Asam lemak esensial dan turunannya seperti DHA dan AA merupakan bagian struktur jaringan otak termasuk dinding sel, yang kadarnya sangat dipengaruhi oleh asupannya dari makanan sehari-hari. Prado E and Dewey K. Nutrition and brain development in early life. A&T Technical Brief dan Berk LE. Child development. ISBN 9780205149766, 2012. Skor tes kognitif sampai usia 19 tahun terkait status zat besi dan status risiko dari lingkungan rumah Diadaptasi dari Lozoff, B. Double burden of iron deciency in infancy and low socioeconomic status A longitudinal analysis of cognitive test scores to age 19 years. Arch Pediatr Adolesc Med. 2006. 1601108-1113.Gambar Missing or excluded0-20%20-40%40-60%60% and aboveHAL149Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaNutrisi juga menjadi bahan baku senyawa kimiawi neurotransmitter serotonin yang disekresi oleh saluran cerna. Serotonin merupakan suatu neurotransmitter yang berkaitan dengan perasaaan nyaman dan bahagia, dan berperan dalam pengaturan gerakan saluran cerna. Kadar serotonin dipengaruhi oleh asupan protein asam amino. Peningkatan rasio asam amino triptofan terhadap asam amino fenilalanin dan leusin akan meningkatkan kadar serotonin. Contoh buah yang mempunyai rasio yang sesuai adalah kurma, pepaya, dan pisang, sementara makanan dengan rasio yang rendah sehingga dapat menghambat keluarnya serotonin antara lain adalah bulir gandum utuh whole wheat dan roti hitam rye bread. Penelitian juga telah membuktikan bahwa konsumsi makanan yang kaya karbohidrat dan rendah protein akan meningkatkan kadar serotonin melalui sekresi insulin yang membantu dalam kompetisi asam amino. Bisa dibayangkan jika terjadi gangguan nutrisi yang menyebabkan pembentukan serotonin terganggu, maka bukan tidak mungkin terjadi efek pada pusat rasa nyaman dan bahagia yang memengaruhimood Wikipedia.Nutrisi sangat berkaitan erat dengan saluran cerna. Apabila terjadi gangguan pada fungsi saluran cerna, akan berdampak pada terganggunya proses pencernaan dan penyerapan nutrisi yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan otak. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gangguan fungsi saluran cerna antara lain adalah maldigesti dan malabsorpsi seperti yang terjadi pada beberapa penyakit necrotizing enterocolitis, penyakit coeliac dan diare. Gambar berikut ini menunjukkan kepada kita perkiraan besarnya masalah tidak terpenuhinya potensi perkembangan anak balita di dunia pada tahun 2004. Berdasarkan data di bawah ini dapat dilihat bahwa proporsi anak Indonesia yang mengalami gangguan potensi perkembangan sebesar 20-40% Gambar Prado E and Dewey K. Nutrition and brain development in early life. A&T Technical Brief. 2012[4].Estimasi proporsi balita yang tidak dapat memenuhi potensi perkembangannya tahun 2014 Prado E and Dewey K. Nutrition and brain development in early life. A&T Technical Brief. 2012[4].Gambar HAL150Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatPengaruh Sosial-Budaya pada Asupan NutrisiVarietas atau pola makanan dari masing-masing individu maupun negara dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor individu, faktor sosial, dan faktor lingkungan. Berikut adalah gambar dari interaksi berbagai faktor tersebut Gambar berbeda dalam pola konsumsi makanan, secara umum, setiap individu dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh asupan nutrisi yang lengkap dari berbagai jenis bahan makanan. Konsumsi berbagai jenis bahan makanan, akan melengkapi kandungan nutrisi satu sama lain sehingga diperoleh asupan nutrisi yang lengkap dengan jumlah seimbang. Biasanya, di setiap negara, telah tersedia pedoman pola makan gizi seimbang dengan menggunakan berbagai visualisasi, seperti piramida makanan, piring gizi seimbang dan lain-lain. Pada intinya, proses pemberian makan pada bayi dan anak tidak boleh dipaksakan namun harus mengikuti perkembangan sistem pencernaan dan kemampuan bayi/anak dengan jumlah asupan yang disesuaikan dengan fase FactorsIndividual FactorsEnvironmental FactorsBody Mass IndexWeight StatusLifestyle/Behavioral Factors• Genetic factors• Family inuences• Peer inuences• Socioeconomics characteristics• Economic inuences cost and accessFoodconsumptionenergy intakePhysicalactivityenergy expenditure• Community characteristics• School environment• State policies• Marketing• Other individual characteristicsKerangka konsep faktor-faktor terkait dengan pola makan Powell LM. Price, availability and youth obesity Evidence from bridging the gap. Gambar HAL151Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaNutrisi untuk Mendukung Kenyamanan Saluran CernaAsupan nutrisi sejak masa janin diperoleh secara pasif dari ibu melalui plasenta dan tali pusat. Secara umum, segera setelah lahir, makanan pertama dan utama bayi yang lengkap nutrisi adalah ASI, yang diberikan melalui inisiasi menyusui dini IMD dan dilanjutkan dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Nutrisi dari ASI tetap diberikan sampai usia anak 24 bulan yang harus disertai dengan pemberian makanan pendamping ASI MP-ASI sejak bayi berusia enam bulan, secara bertahap baik dalam kualitas, kuantitas, maupun jadwal. Setelah usia dua tahun diharapkan anak mendapatkan asupan nutrisi dari makanan keluarga sehari-hari yang lengkap nutrisi dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan untuk tumbuh kembangnya. Kelengkapan kandungan nutrisi dari asupan makanan bayi dan anak tentunya belum cukup apabila tidak dibarengi dengan ketersediaan saluran cerna yang sehat dan nyaman. Saluran cerna yang sehat akan memfasilitasi bayi-anak sehingga dapat mencerna dan menyerap nutrisi dari makanan, sehingga akan menciptakan suasana saluran cerna yang nyaman, yaitu tanpa keluhan dan gangguan, seperti kolik, diare dan/atau konstipasi, yang selanjutnya akan mengganggu selera makan anak. Akibatnya, anak akan terganggu tumbuh-kembang optimalnya. Secara antropometrik, anak akan mengalami kurang berat, kurus dan pendek, dan secara perkembangan, anak akan terlambat dalam kemampuan motorik terlambat jalan dan sensoriknya terlambat bicara. Untuk mendapatkan saluran cerna yang sehat dibutuhkan peran dari berbagai nutrisi, antara lain asam amino glutamin dan mineral seng. Glutamin akan menyediakan energi, sementara seng akan memberikan perlindungan khususnya pada keutuhan dan kesehatan selaput lendir usus sehingga dapat berfungsi dengan optimal. Berbagai penelitian telah membuktikan efek pemberian glutamin dalam memperbaiki fungsi saluran cerna. Demikian pula dengan seng, berbagai penelitian telah membuktikan kaitan antara diare dengan kekurangan seng, dan pemberian seng terbukti memperbaiki gejala akibat penyakit saluran cerna. Seng berperan dalam menjaga keutuhan selaput lendir saluran cerna sehingga tidak mudah dimasuki oleh kuman penyebab penyakit. Glutamin merupakan asam amino yang banyak tersedia dalam tubuh dan berperan dalam berbagai reaksi metabolisme dalam tubuh dan di antaranya adalah sebagai sumber energi. Tubuh tidak memerlukan asupan glutamin dari makanan karena sudah tercukupi jumlahnya. Namun, dalam kondisi khusus, seperti adanya penyakit yang berat, maka dibutuhkan tambahan glutamin dari makanan. Bahan makanan kaya sumber glutamin antara lain adalah daging, ikan, kacang, dan susu. HAL152Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatSeng merupakan mineral yang terlibat dalam banyak reaksi metabolisme dalam tubuh. Pola makan yang kurang asupan bahan makanan sumber kaya seng seperti daging, ikan, unggas, dan susu, yang dibarengi dengan asupan bahan makanan sumber kaya serat tak larut, tat dan kalsium, akan menyebabkan tubuh mengalami desiensi seng. Probiotik Bermanfaat Bagi Kesehatan Saluran CernaSelain nutrisi, kesehatan saluran cerna juga dipengaruhi oleh beberapa pangan fungsional, di antaranya adalah probiotik dan prebiotik. Beberapa penelitian telah mendukung penggunaan probiotik untuk pencegahan ataupun pengobatan penyakit saluran cerna pada anak. Prebiotik merupakan pangan fungsional yang tidak dapat dicerna sehingga memiliki manfaat untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas probiotik di usus besar. Mikrobiota yang ditemukan dalam usus dapat bersifat komensal berkolonisasi ataupun transien hanya lewat saja. Selain itu, mikrobiota tersebut dapat memberi manfaat, berpotensi bahaya ataupun patogen menyebabkan penyakit. Mikrobiota dikatakan memberi manfaat apabila dapat melakukan fermentasi karbohidrat, tidak menghasilkan racun, dan memiliki manfaat potensial pada tubuh, antara lain interaksi dengan sistem kekebalan tubuh dan menghambat mikrobiota patogen. Mikrobiota yang bermanfaat disebut sebagai probiotik, contohnya adalah Bidobakterium, Eubakterium, dan dan probiotik dapat memengaruhi fungsi saluran cerna. Prebiotik terkait dengan proses fermentasi di usus besar sehingga akan meningkatkan jumlah bakteri dan kapasitas mengikat air yang berkontribusi meningkatkan berat, frekuensi dan melunakkan feses. Selain itu, hasil fermentasi berupa asam lemak rantai pendek butirat mempunyai efek positif pada lapisan selaput lendir usus dan pada gerakan usus peristaltik sehingga mencegah masalah konstipasi dan ketidaknyamanan saluran cerna seperti kembung dan sakit perut. Prebiotik dapat merangsang pertumbuhan mikrobiota sehat, dan juga meningkatkan penyerapan mineral, seperti kalsium, magnesium dan zat besi. Sementara probiotik memiliki banyak peran dalam kesehatan dan kenyamanan saluran cerna. Pada anak yang mengalami intoleransi laktosa, yaitu kondisi dimana fermentasi yang terjadi di laktosa yang tidak tercerna di usus besar justru menyebabkan gejala nyeri perut, kembung dan gerakan berlebihan dari usus atau laksasi, maka bakteri probiotik dapat mengompensasi tidak adanya enzim laktase untuk mencerna laktosa, sehingga dapat mengurangi gejala tidak nyaman tersebut. Prebiotik dan probiotik juga sudah terbukti memiliki peran terhadap respons imun dan menurunkan risiko terjadinya infeksi, bahkan gangguan saluran cerna akibat pemberian HAL153Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran Cernaantibiotika yang dapat menimbulkan diare antibiotic associated diarrhea/AAD yang ternyata cukup tinggi kejadiannya. Selain untuk mengatasi infeksi di saluran cerna, penelitian juga sudah dilakukan untuk mengevaluasi peran prebiotik dan probiotik terhadap kerentanan, lama dan gejala infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran kencing. Demikian pula, pemberian probiotik dapat meningkatkan respons perlindungan dari pemberian vaksinasi pada anak. Pemberian probiotik pada ibu hamil dan bayi setelah dilahirkan juga sudah terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya reaksi alergi pada bayi dan Terbaik untuk Sumber ProbiotikMikrobiota saluran cerna dengan jumlah koloni terbesar ditemukan di usus besar 1010 koloni/g, kemudian di usus kecil 106-107 koloni/g dan yang tersedikit ditemukan di lambung 103 koloni/g. Sebelum lahir, saluran cerna tidak mengandung mikrobiota ini, namun setelah dilahirkan akan cepat terjadi kolonisasi, yang bergantung pada cara lahir dan lingkungan tempat lahir, mikrobiota ibu yang melahirkan dan pemberian ASI. Yang dimaksud dengan probiotik adalah produk makanan atau suplemen yang mengandung sejumlah cukup mikro-organisme hidup yang dapat memberi efek pada mikro ora tubuh dan memiliki efek manfaat bagi kesehatan. Sementara prebiotik merupakan bagian makanan yang tidak dapat dicerna yang memberi manfaat menstimulasi pertumbuhan dan/atau aktivitas satu atau lebih bakteria probiotik tubuh. Sedangkan sinbiotik adalah produk yang mengandung keduanya, prebiotik dan probiotik, yang dapat berupa suplemen ataupun bahan pangan tambahan dalam pangan fungsional. Pangan fungsional adalah bahan makanan atau komposisi makanan yang telah dimodikasi sehingga memberi manfaat kesehatan selain efek dari nutrisi yang terkandung di dalamnya. Makanan yang mengandung prebiotik dan/atau probiotik dapat digolongkan sebagai pangan fungsional, contohnya adalah ASI, yogurt dan lainnya. Contoh dari probiotik yang telah terbukti memberi manfaat antara lain adalahLaktobasilus ramnosus GG LGG, Laktobasilus reuteri dan Bidobakterium laktis. Probiotik ini dapat diperoleh sebagai obat ataupun suplemen, dan dapat pula dicampurkan atau ditambahkan atau memang secara alamiah sudah terkandung dalam pangan fungsional, misalnya ASI. Sementara prebiotik biasanya dalam bentuk oligosakarida, dapat ditemukan baik secara alamiah maupun memang ditambahkan dalam makanan, minuman dan formula makanan bayi. Walaupun prebiotik tidak dapat dicerna usus namun keberadaannya dapat meningkatkan pertumbuhan probiotik dalam usus besar, khususnya golongan Bidobakterium. HAL154Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang SehatTipsSejak tahun 2009 telah disosialisasikan secara luas tanda-tanda anak bergizi baik, yaitu1. Anak bertambah umur, akan bertambah berat dan Anak memiliki postur tubuh yang tegap dan berotot Anak memiliki rambut yang berkilau dan kuat tidak mudah tercabut.4. Anak memiliki kulit dan kuku yang bersih dan tidak Anak selalu berwajah ceria, matanya bening dan warna bibirnya Anak memiliki gigi yang bersih dan gusinya berwarna merah Anak memiliki selera makan yang baik dan terbiasa buang air besar secara Anak selalu aktif bergerak dan berbicara lancar sesuai Anak penuh perhatian dan memberi reaksi aktif saat Anak selalu nyenyak dapat mengidentikasi masalah gizi pada anak dan penanganannya oleh petugas kesehatan, maka berikut urutan kegiatan yang harus dilakukan1. Mendengarkan keluhan ibu dan/atau pengasuh Menggali kebiasaan pemberian makanan sehari-hari dalam hal variasi bahan makanan yang dipersiapkan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, cairan dan prebiotik-probiotik, jadwal pemberian makanan dalam sehari, dan jumlah porsi yang dapat dihabiskan anak serta suasana saat Melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak secara umum suhu tubuh, kelainan yang ditemukan mulai dari rambut, mata, telinga, gigi-mulut, kulit, adanya udema dan menanyakan kebiasaan buang air besarnya dan kemampuan motorik-sensorik Melakukan pengukuran antropometri BB, TB, lingkar lengan atas dan lingkar kepala untuk disesuaikan dengan grak dalam Hasil identikasi tersebut didiskusikan dengan ibu dan/atau pengasuh anak melalui kegiatan konseling untuk merencanakan tindakan yang harus dilakukan di rumah atau harus merujuk anak ke dokter dan/atau klinik di rumah sakit. HAL155Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran CernaRingkasan- Kesehatan saluran cerna sudah dapat dibentuk dan dipelihara sejak masa prenatal. - Saluran cerna yang sehat ditandai antara lain dengan kolonisasi bakteri-bakteri baik yang dapat meningkatkan kenyamanan saluran cerna dan mencegah gangguan-gangguan gastrointestinal yang sering terjadi pada bayi dan anak. - Nutrisi berperan sangat penting dalam menjaga kesehatan saluran Probiotik, seperti strain Lactobacillus,terutama L. reuteri terbukti dapat menjaga kenyamanan saluran 1. Berk LE. Child development. ISBN 9780205149766, Binns N. Probiotics, prebiotics and the gut microbiota. ILSI Europe Bosco ML. The effect of breast-milk on newborn gut maturation. Fitzgerld Health Education Inc. Coccorullo, P, Strisciuglio, C, Martinelli, M, Miele E, Greco, L and Staiano, A. Lactobacillus reuteri DSM 17938 in infants with functional chronic constipation a double-blind, randomized, placebo-controlled study. 2010. J Duggan C, Gannon J, and Walker WA. Protective nutrients and functional foods for the gastrointestinal tract. Am J Clin Nutr 2002;75789– Edwards, CA and Parrett, AM. Intestinal ora during the rst months of life new perspectives. 2002. B J Nutr. 88s11-s18. 7. Elizabeth Prado and Kathryn Dewey A&T technical brief Issue 4 January 20128. Fall C. Maternal nutrition Effects on health in the next generation. Indian J Med Res 2009;130 FanaroS, Chierici R, Guerrini P, and Vigi V. Intestinal microora in early infancy composition and development. Acta Pediatr Suppl 2003;44148-55. HAL156Kesehatan Pencernaan Awal Tumbuh Kembang yang Sehat10. Gabory A, Attig L, and Junien C. Epigenetic mechanisms involved in developmental nutrition J Diabetes. 2011;210 Indrio, F, Riezzo, G, Raimondi, F, Bisceglia, L, Cavallo, R and Francavilla, R. Effects of probiotic and prebiotic on gastrointestinal motility in newborns. 2009. J Physiol Pharmacol. 60 Institute of medicine 2009, weight gain during pregnancy re-examining the ISAAP meeting. Report from the intestinal microora and dietary modulation working group. Loening-Baucke, V. Prevalence, symptoms and outcome of constipation in infants and toddlers. 2005. J 359-63. 15. Martin R. Isolation of Bidobacteria from breast milk and eassessment of the bidobacterial population by PCR-denaturing gradient gel electrophoresis and quantitative real-time PCR. Appl Environ Microbiol. 2009. 754965. 16. National Health and medical Research council 2012 Infant Feeding Guidelines. Canberra National Health and Medical Research Nriagu J. Zinc deciency in human health. School of Public Health, University of of Michigan. Elsevier Powell LM. Price, availability and youth obesity Evidence from bridging the gap. Rao RK and Samak G. Role of glutamin in protection of intestinal epithelial tight junction. Journal of Epithelial Biology and Pharmacology, 2012;5 S1-M7 Rice D and Barone S. Critical periods of vulnerability for the developing nervous system Evidence from humans and animal models. Environ Health Perspect 2000;1083 Romano, C, Ferrau, V, Catavalo, F, Iacono, G, Spina, M, Lionetti, E, Comisi, F, Famiani, A, and Comito, D. Lactobacillus reuteri in children with functional abdominal pain FAP.22. Ruth MR and Field CJ. The immune modifying effects of amino acids on gut-associated lymphoid tissues. Journal of Animal Science and Biotechnology 2013, 427. Savino, F, Pelle, E, Palumeri, E, Oggero, R and Miniero, R. Lactobacillus reuteri American Type Culture Collection Strain 55730 versus Simethicone in the treatment of infantile colic a prospective randomized study. 2007. J Pediatr. 119e124-e130. HAL157Peran Nutrisi dalam Tumbuh Kembang dan Kesehatan Saluran Cerna24. Sinkiewicz, G 2010. Lactobacillus reuteriin health and disease. PhD. Thesis. Malmo University. Sinkiewicz, G. Occurrence of Lactobacillus reuteri in human breast milk. Microb Ecol Health D. 2008. 20 Thomas DW, Greer FR and Committee on Nutrition. Prebiotics and Prebiotics in Pediatrics. Pediatrics 2010;126;1217; originally published online November 29, 2010; DOI Ulluwishewa D, Anderson RC, McNabb WC, Moughan PJ and Wells JM. Regulation of tight junction permeability by intestinal bacteria and dietary components. J. Nutr. 2011. doi WGO practice guideline, diunduh dari tanggal 24 November 2012. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Megan R RuthCatherine J FieldThe intestine and the gut-associated lymphoid tissue GALT are essential components of whole body immune defense, protecting the body from foreign antigens and pathogens, while allowing tolerance to commensal bacteria and dietary antigens. The requirement for protein to support the immune system is well established. Less is known regarding the immune modifying properties of individual amino acids, particularly on the GALT. Both oral and parenteral feeding studies have established convincing evidence that not only the total protein intake, but the availability of specific dietary amino acids in particular glutamine, glutamate, and arginine, and perhaps methionine, cysteine and threonine are essential to optimizing the immune functions of the intestine and the proximal resident immune cells. These amino acids each have unique properties that include, maintaining the integrity, growth and function of the intestine, as well as normalizing inflammatory cytokine secretion and improving T-lymphocyte numbers, specific T cell functions, and the secretion of IgA by lamina propria cells. Our understanding of this area has come from studies that have supplemented single amino acids to a mixed protein diet and measuring the effect on specific immune parameters. Future studies should be designed using amino acid mixtures that target a number of specific functions of GALT in order to optimize immune function in domestic animals and humans during critical periods of development and various disease Sinkiewicz Lennart LjunggrenThe nature and role of human milk microbiota in the early colonization and protection of infants from infection is the subject of increasing research. This study investigated the occurrence of Lactobacillus reuteri in milk of nursing mothers living in rural or urban areas in different geographical locations. Breast milk samples were collected from 220 mothers, 6–32 days after delivery, and analysed for the presence of total lactobacilli and L. reuteri. In all, 50% of mothers from rural areas in Japan and Sweden were L. reuteri-positive, whereas mothers from urban areas in South Africa, Israel and Denmark had very low or non-detectable levels. Overall, 15% of mothers had detectable L. reuteri in their milk. There were no significant differences in the prevalence of total Lactobacillus or L. reuteri in women from rural and urban habitats in the participating ways in which epigenetic modifications fix the effects of early environmental events, ensuring sustained responses to transient stimuli, which result in modified gene expression patterns and phenotypes later in life, is a topic of considerable interest. This review focuses on recently discovered mechanisms and calls into question prevailing views about the dynamics, position and functions of epigenetic marks. Most epigenetic studies have addressed the long-term effects on a small number of epigenetic marks, at the global or individual gene level, of environmental stressors in humans and animal models. In parallel, increasing numbers of studies based on high-throughput technologies and focusing on humans and mice have revealed additional complexity in epigenetic processes, by highlighting the importance of crosstalk between the different epigenetic marks. A number of studies focusing on the developmental origin of health and disease and metabolic programming have identified links between early nutrition, epigenetic processes and long-term illness. The existence of a self-propagating epigenetic cycle has been demonstrated. Moreover, recent studies demonstrate an obvious sexual dimorphism both for programming trajectories and in response to the same environmental insult. Despite recent progress, we are still far from understanding how, when and where environmental stressors disturb key epigenetic mechanisms. Thus, identifying the original key marks and their changes throughout development during an individual's lifetime or over several generations remains a challenging fortify the biological role of milk formula has been suggested to use probiotics and prebiotics as functional components to mimic the effect of breast milk. The aim of this study was to evaluate the effects of prebiotic, probiotic added to a standard formula on gastrointestinal motility respect to placebo-formula. Cutaneous electrogastrography EGG and ultrasound gastric emptying GE were performed in 49 preterm newborns. 17 newborns were exclusively breast-fed; 32 were randomly assigned to receive prebiotic-added formula g/dl of a mixture from scGOS and lcFOS, ratio 91 10, a probiotic-added formula L. reuteri at dose of 1x108 colony forming units CFU per day 10, a formula with placebo 12 for 30 days. No difference was seen in the nutritional parameters and no adverse events were reported. After the intervention period, the prebiotic, probiotic, and breast milk groups showed a higher percentage of EGG slow wave propagation and faster gastric half emptying time respect to placebo group ANOVAon ranks p< Dunn test vs control prebiotic, probiotic and breast-milk vs placebo formula p< and ANOVA on ranks p= Dunn test vs control prebiotic, probiotic and breast-milk vs placebo formula p< respectively. Feeding preterm infants with a formula supplemented with prebiotics or probiotics may stimulate gastric emptying and improve maturation of the EGG activity mimicking the effect of breast human intestinal epithelium is formed by a single layer of epithelial cells that separates the intestinal lumen from the underlying lamina propria. The space between these cells is sealed by tight junctions TJ, which regulate the permeability of the intestinal barrier. TJ are complex protein structures comprised of transmembrane proteins, which interact with the actin cytoskeleton via plaque proteins. Signaling pathways involved in the assembly, disassembly, and maintenance of TJ are controlled by a number of signaling molecules, such as protein kinase C, mitogen-activated protein kinases, myosin light chain kinase, and Rho GTPases. The intestinal barrier is a complex environment exposed to many dietary components and many commensal bacteria. Studies have shown that the intestinal bacteria target various intracellular pathways, change the expression and distribution of TJ proteins, and thereby regulate intestinal barrier function. The presence of some commensal and probiotic strains leads to an increase in TJ proteins at the cell boundaries and in some cases prevents or reverses the adverse effects of pathogens. Various dietary components are also known to regulate epithelial permeability by modifying expression and localization of TJ proteins. Jerome NriaguZinc is one of the most important functional metals in the human body with over 300 zinc-containing enzymes reported thus far. These enzymes play critical roles in structural stabilization and as cofactors in catalysis, whereas a large number of proteins involved in transcription factors contain zinc fingers and similar structural motifs. Approximately 10% of the human genome encodes for proteins that can bind zinc. Because of its importance for numerous cellular processes, the concentration of zinc ion in the human body is tightly regulated and significant disturbances of zinc homeostasis have been associated with diverse ill effects including reproductive abnormalities, growth retardation, hypogonadism, impaired wound healing, skin lesions and anemia, diarrhea, anorexia, cognitive impairment, immune dysfunction, diabetes mellitus, impaired visual function, osteoporosis, cirrhosis of the liver, bowel disease, and even tumors. In addition, many more people suffer from mild to moderate zinc deficiency, which can best be detected through a positive response to zinc therapy or supplementation trials. In this regard, zinc has been used successfully in the treatment of acrodermatitis enteropathica and Wilson disease and positive responses to zinc supplementation have been reported not in all studies by any means in common colds, acute diarrhea in children, chronic hepatitis C, shigellosis, leprosy, leishmaniasis, AIDS/HIV, tuberculosis, acute lower respiratory infections, malaria, arthritis, and acne, and has also been associated with a decrease in incidence of infection in elderly and age-related macular degeneration AMD. Zinc deficiency has now emerged as a major global public health problem that significantly impacts the developing countries. It is estimated that approximately half of the world's population has suboptimal zinc nutrition and that global zinc deficiency is the 11th highest risk factor for disease mortality and morbidity. In the developing countries, zinc deficiency ranks as the fifth highest risk factor for disease with up to 75% of the population of some countries experiencing suboptimal zinc intake. A major stumbling block in tackling this silent global epidemic is that there is currently no reliable method to quantify an individual's zinc status that can be moderated by a host of environmental, genetic, and metabolic factors. Until such a measure becomes available, it is impossible to ascertain causal relationships between zinc deficiency and concurrent diseases or to develop protocols to maximize the health benefits of zinc a conditionally essential amino acid, is consumed predominantly in the gastrointestinal tract as a source of energy, particularly under the conditions of trauma, sepsis and surgery. In this article, we discuss the unique role of glutamine in the preservation of epithelial barrier function in the gastrointestinal tract. Glutamine supplementation protects the gastrointestinal mucosal homeostasis during total parenteral nutrition, diarrhea, radiation injury, starvation, sepsis and trauma. A significant body of evidence indicates that glutamine preserves the gut barrier function and prevents permeability to toxins and pathogens from the gut lumen into mucosal tissue and circulation. Recent studies demonstrated that the mucosal barrier protective effect of glutamine relates to its effect on preservation of epithelial tight junction integrity. The current understanding of glutamine-mediated protection of intestinal epithelial tight junction integrity and the potential mechanisms involved in this protective effect of glutamine are W. Thomas Frank GreerThis clinical report reviews the currently known health benefits of probiotic and prebiotic products, including those added to commercially available infant formula and other food products for use in children. Probiotics are supplements or foods that contain viable microorganisms that cause alterations of the microflora of the host. Use of probiotics has been shown to be modestly effective in randomized clinical trials RCTs in 1 treating acute viral gastroenteritis in healthy children; and 2 preventing antibiotic-associated diarrhea in healthy children. There is some evidence that probiotics prevent necrotizing enterocolitis in very low birth weight infants birth weight between 1000 and 1500 g, but more studies are needed. The results of RCTs in which probiotics were used to treat childhood Helicobacter pylori gastritis, irritable bowel syndrome, chronic ulcerative colitis, and infantile colic, as well as in preventing childhood atopy, although encouraging, are preliminary and require further confirmation. Probiotics have not been proven to be beneficial in treating or preventing human cancers or in treating children with Crohn disease. There are also safety concerns with the use of probiotics in infants and children who are immunocompromised, chronically debilitated, or seriously ill with indwelling medical devices. Prebiotics are supplements or foods that contain a nondigestible food ingredient that selectively stimulates the favorable growth and/or activity of indigenous probiotic bacteria. Human milk contains substantial quantities of prebiotics. There is a paucity of RCTs examining prebiotics in children, although there may be some long-term benefit of prebiotics for the prevention of atopic eczema and common infections in healthy infants. Confirmatory well-designed clinical research studies are evaluate the beneficial effects of Lactobacillus reuteri DSM 17938 in infants with functional chronic constipation. A double-blind, placebo-controlled, randomized study was conducted from January 2008 to December 2008 in 44 consecutive infants at least 6 months old mean age+/-SD, SD; male/female, 24/20 admitted to the Gastrointestinal Endoscopy and Motility Unit of the Department of Pediatrics, University "Federico II" of Naples, with a diagnosis of functional chronic constipation. The 44 infants with chronic constipation were randomly assigned to 2 groups group A n=22 received supplementation with the probiotic L reuteri DSM 17938 and group B n=22 received an identical placebo. Primary outcome measures were frequency of bowel movements per week, stool consistency, and presence of inconsolable crying episodes, recorded in a daily diary by parents. Infants receiving L reuteri DSM 17938 had a significantly higher frequency of bowel movements than infants receiving a placebo at week 2 P=.042, week 4 P=.008, and week 8 P=.027 of supplementation. In the L reuteri group, the stool consistency was reported as hard in 19 infants at baseline, in 11 infants 50% at week 2, and in 4 infants at weeks 4 and 8. However, there was no significant difference between L reuteri and placebo groups in the stool consistency at all weeks P=.63, week 2; P=.38, week 4; P=.48, week 8. Similarly, there was no statistically difference in the 2 groups in the presence of inconsolable crying episodes. No adverse effects were reported. The administration of L reuteri DSM 17938 in infants with chronic constipation had a positive effect on bowel frequency, even when there was no improvement in stool consistency and episodes of inconsolable crying episodes. Because of their safety profile, probiotics may be an attractive option in the treatment of functional FallNearly 20 years ago, it was discovered that low birthweight was associated with an increased risk of adult diabetes and cardiovascular disease CVD. This led to the hypothesis that exposure to undernutrition in early life increases an individual's vulnerability to these disorders, by 'programming' permanent metabolic changes. Implicit in the programming hypothesis is that improving the nutrition of girls and women could prevent common chronic diseases in future generations. Research in India has shown that low birthweight children have increased CVD risk factors, and a unique birth cohort in Delhi has shown that low infant weight, and rapid childhood weight gain, increase the risk of type 2 diabetes. Progress has been made in understanding the role of specific nutrients in the maternal diet. In the Pune Maternal Nutrition Study, low maternal vitamin B12 status predicted increased adiposity and insulin resistance in the children, especially if the mother was folate replete. It is not only maternal undernutrition that causes problems; gestational diabetes, a form of foetal overnutrition glucose excess, is associated with increased adiposity and insulin resistance in the children, highlighting the adverse effects of the 'double burden' of malnutrition in developing countries, where undernutrition and overnutrition co-exist. Recent intervention studies in several developing countries have shown that CVD risk factors in the offspring can be improved by supplementing undernourished mothers during pregnancy. Results differ according to the population, the intervention and the post-natal environment. Ongoing studies in India and elsewhere seek to understand the long-term effects of nutrition in early life, and how best to translate this knowledge into policies to improve health in future generations. zMRFL. 341 459 48 164 235 114 309 187 483

pemberian nutrisi pada sel saraf terjadi melalui